Dalam kesempatan ini penulis hendak menyampaikan kepada sidang pembaca tentang sebagian kecil dari kehidupan sosial budaya di Malaysia dan Indonesia. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses kehidupan sosial budaya masyarakat di suatu daerah atau negara sangat banyak, salah satunya kebijakan pemerintah / penguasa / kerajaan. Misal di bidang telekomunikasi.
Di Malaysia, ada satu kebijakan pemerintahnya dalam bidang telekomunikasi yang sangat berbeda sekali dengan di Indonesia, yaitu masalah parabola.
Di Indoesia, warga negaranya dibebaskan memiliki parabola sebagai antena TV, bebas mau mengikuti saluran TV dari mana pun, baik di dalam negeri maupun dari luar negeri, tanpa ada sensor sedikit pun. Mau menggunakan antena TV biasa pun, bebas. Kebebasan menggunakan parabola tersebut sangat menguntungkan bagi masyarakat yang berdomisili di daerah-daerah yang sangat sulit menangkap gelombang FM, apalagi di Indonesia banyak sekali daerah-daerah dengan karakteristik demikian, terutama daerah-daerah terpencil, daerah-daerah yang jauh dari perkotaan. Sehingga masyarakat pedesaan tidak tertinggal sedikit pun daripada masyarakat perkotaan (yang tak terlalu membutuhkan parabola) dalam hal kemudahan mengikuti program-program acara TV, baik program hiburan, program berita, dan lain sebagainya. Contohnya, di UPT. Lubuk Talang, Malin Deman, Mukomuko, Bengkulu, Sumatera, yang merupakan daerah transmigrasi penempatan tahun 2008 dan 2009, daerah yang sangat terpencil
Di daerah terpencil tersebut, masyarakatnya tiap hari bisa mengikuti program-program TV, baik TV-TV nasional seperti SCTV, ANTV, TRANS 7, TV ONE, METRO TV, dll, maupun TV luar negeri yang biasanya untuk mengikuti program acara pertandingan persebakbolaan secara live. Walaupun belum ada listrik PLN (sampai kapan pun memang kecil sekali kemungkinannya bisa mendapatkan aliran listrik PLN) berhubung jarak dengan desa terdekat sekitar 4 Km, dengan desa berikutnya lebih dari 20 Km, dengan desa berikutnya lagi yang sudah mendapatkan listrik PLN lebih dari 35 Km, dengan jalan tanah dan jalan diperkeras dengan sirtu (pasir dan batu) yang merupakan jalan perkebunan sawit, tetapi daerah tersebut dengan swadaya masyarakat (swasta) sudah bisa mendapatkan listrik dengan genset (ada 2 pengusaha kecil dan 1 genset bantuan PEMDA Kulon Progo – DIY) maupun 1 PLTA dengan kincir air kayu yang memutar dynamo berkapasitas 10.000 watt (1 pengusaha kecil) plus 97 unit PLTS bantuan dari pemerintah pusat (Kementerian ESDM). Sehingga dengan demikian, masyarakat daerah terpencil pun, kehidupan sosial budayanya sangat berinteraksi aktif dan sangat dipengaruhi oleh cara-cara berkehidupan masyarakat perkotaan, walaupun kegotong-royongan masih sangat kuat berakar dalam kehidupan masayarakat desa. Penggunaan laptop dan Hp pun sudah tak asing lagi di daerah pedesaan.
Kalau di Malaysia, parabola dilarang digunakan oleh warga negaranya secara bebas. Masyarakat yang menggunakan parabola sangat terbatas sekali karena perijinannya ketat sekali. TV yang menggunakan antena FM biasa, merupakan TV corong pemerintah, yaitu TV1, TV2, TV3, TV4, TV5, TV6, TV7 (ada yang khusus berbahasa Melayu, ada yang khusus berbahasa Inggris, ada yang khusus berbahasa Cina dan ada yang khusus berbahasa Tamil). Selain itu ada TV ASTRO yang menggunakan decoder (berbayar bulanan), salah satu salurannya bekerjasama dengan TRANS 7, SCTV dan KOMPAS TV (program berita dan hiburan), yaitu saluran ‘Bintang’ dan ‘Pelangi’. Penggunaan laptop dan Hp sama dengan di Indonesia, bahkan sudah merupakan kebutuhan primer.
Barangkali disebabkan kebijakan pemerintah yang demikian sehingga perkembangan sosial budaya masyarakatnya berbeda, walaupun hal tersebut hanya merupakan salah faktor pengaruh.
Faktanya, penampilan artis-artis Malaysia di TV masih jauh lebih sopan daripada di Indonesia yang sudah semakin ke’barat-barat’an, bahkan sudah tidak ada bedanya dengan penampilan artis-artis Hollywood. Karena dijadikan public figure, maka masyarakat cepat sekali menirunya. Sensor di Malaysia masih kuat, menyebabkan para artisnya takut di-black list kalau berani berpenampilan ‘berani’. Budaya malu masyarakatnya pun masih kentara sekali, sehingga juga menjadi ‘badan sensor’ yang massif.
Kalau di Indonesia, dunia hiburannya berkiblat ke barat, kalau di Malaysia ada gejala sedikit demi sedikit berkiblat ke Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H