Tweede Inlandsche School (De scholen der tweede Klasse ) atau Sekolah Kelas Dua yang biasa disebut Sekolah Ongko Loro merupakan Sekolah Rakyat atau Sekolah Dasar dengan masa pendidikan selama Tiga Tahun yang ada pada masa kolonial Belanda, dan tersebar di seluruh pelosok desa yang ada di Indonesia. Maksud dan tujuan dari pendidikan ini adalah dalam rangka sekadar memberantas buta huruf dan memberantas buta hitung. Bahasa pengantar yang digunakan dalam sekolah kelas dua adalah bahasa daerah utamanya Bahasa melayu dengan guru tamatan dari Hollandsche Indische Kweekschool (HIK) atau Sekolah Guru Bantu (SGB). Bahasa Belanda merupakan mata pelajaran pengetahuan dan bukan sebagai mata pelajaran pokok yang digunakan sebagai bahasa pengantar. Namun setelah tamat dari sekolah ini murid masih dapat meneruskan pada Schakel School selama 5 tahun yang tamatannya nantinya akan sederajat dengan Hollandse Indische School.
Sekolah rendah kelas dua disediakan untuk anak-anak bumiputra golongan menengah. Kurikulum sekolah rendah kelas dua sangat sederhana yaitu, membaca, menulis dan berhitung. Sekolah ini berfungsi untuk mempersiapkan berbagai macam pegawai rendah untuk kantor pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta. Sekolah kelas dua ini mengalami perkembangan setelah tahun 1901, diantaranya penambahan masa studi yang awalnya 3 tahun berubah menjadi 5 tahun. Selain itu juga penambahan mata pelajaran pendidikan jasmani dan perubahan yang awalnya menggunakan bahasa daerah kemudian berganti menjadi Bahasa Melayu. Sekolah Ongko Loro di Surabaya didirikan pada tahun 1895, sekolah ini terdiri dari 3 guru laki-laki dengan 168 murid (S Kutoyo, dan S. Soetjiatingsih, 1981: 101).
Peraturan pendidikan dasar untuk masyarakat pada waktu Hindia Belanda pertama kali dikeluarkan pada tahun 1848, dan disempurnakan pada tahun 1892 di mana pendidikan dasar harus ada pada setiap Karesidenan, Kabupaten, Kawedanaan, atau pusat-pusat kerajinan, perdagangan, atau tempat yang dianggap perlu. Peraturan yang terakhir (1898) diterapkan pada tahun 1901 setelah adanya Politik Etis atau Politik Balas Budi dari Kerajaian Belanda, yang diucapkan pada pidato penobatan Ratu Belanda Wilhelmina pada 17 September 1901, yang intinya ada 3 hal penting: irigrasi, transmigrasi, pendidikan.
Sekolah Ongko Loro di Surabaya didirikan pada tahun 1895, sekolah ini terdiri dari 3 guru laki-laki dengan 168 murid. Kurikulum sekolah rendah kelas dua sangat sederhana yaitu, membaca, menulis dan berhitung. Sekolah ini berfungsi untuk mempersiapkan berbagai macam pegawai rendah untuk kantor pemerintahan dan perusahaan-perusahaan swasta Sekolah kelas dua ini mengalami perkembangan setelah tahun 1901, diantaranya penambahan masa studi yang awalnya 3 tahun berubah menjadi 5 tahun. Selain itu juga penambahan mata pelajaran pendidikan jasmani dan perubahan yang awalnya menggunakan bahasa daerah kemudian berganti menjadi Bahasa Melayu. Banyak pemimpin Indonesia dimulai dengan pendidikan ini, misalnya Adam Malik, HAMKA, Suharto, dan lainnya.
Dibandingkan dengan Sekolah Kelas Satu, yang lamanya 5 tahun dan mempunyai kurikulum lebih luas, Sekolah Kelas Dua hanya mempunyai kurikulum yang sederhana, yakni meliputi pelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Sekolah Kelas Dua yang dimaksud sebagai Sekolah Rakyat yang memberi pendidikan sederhana bagi seluruh rakyat. Akibat dari krisis finansial yang sedang melanda belanda, maka keuangan pemerintah tidak mengizinkan pengeluaran yang demikian banyak, sehinnga perluasan Sekolah Kelas Dua menjadi sangat terhambat,bahkan di hentikan. Keberatan lainnya ialah perluasan Sekolah Kelas Dua yang cepat dapat menimbulakan bahaya terbentuknya sejumlah besar manusia yang menjauhkan diri dari kehidupan desa dan pekerjaan kasar dan menginginkan pekerjaan pada kantor pemerintah.
      Dengan alasan itu maka Sekolah Kelas Dua dianggap tidak Serasi bagi pendidikan umum bagi seluruh rakyat. Maka perlu dicari jenis sekolah lain untuk penduduk pada umumnya dan tidak mengharapkan pekerjaan kantor dan tidak mengasingkan seseorang pada lingkungan aslinya. Pada tahun 1907 Gubernur Jenderal Van Heutz menemukan kembalai “Sekolah Desa“. Oleh karena munculnya Sekolah Desa maka terjadi perubahan dalam fungsi Sekolah Kelas Dua. Sekolah ini tidak lagi menjadi sekolah untuk rakyat pada umumnya, melainkan hanya pada sebagian kecil saja. Sekolah ini mempersiapkan untuk menghasilkan para pegawai rendah untuk kantor pemerintah dan perusahaan swasta.Sekolah Kelas Dua pada akhirnya menjadi sekolah untuk minoritas penduduk.
1.Kurikulum
Pelajaran agama dilarang di dalam Sekolah Kelas Dua, walaupun ruang kelas dapat digunakan untuk pendidikan agama di luar jam sekolah. Karena sekolah ini pada awlnya dimaksud untuk seluruh rakyat, maka kurikulumnya sederhana, namun ada kemungkinan untuk memperluas kurikulum setelah mendapat persetujuan inspektur, dengan ketentuan bahasa belanda tidak boleh diajarkan.
Perbedaan lama belajar juga cenderung hilang setelah menambah kelas 4 dan kelas 5pada Sekolah Kelas Dua agar dapat mempersiapkan muridnya untuk memasukkia kweekschool. Menggambar mulai diajarakan pada tahun 1892 bernyanyi diajarakan hanya di kelas 3 sejak 1892 dan kemudian dihapuskan pada tahun 1912. Pekerjaan tangan menjadi masalah yang ramai diperbincangkan. Usaha untuk memasukkan sebagai mata pelajaran banyak menerima tantangan, karena dianggap tidak layak untuk dipelajari disekoalah. Karena dapat di berikan dirumah.
2.Buku Pelajaran
Sebenarnya buku tidak jauh berbeda dengan yang digunakan pada Sekolah Kelas Satu. Buku yang banyak dipakai adalah Emboen, buku bacaan karangan bersama guru Belanda (G.F. Lavell) dan guru bahasa melayu (M. Taib). Kualitas bahasanya cukup baik. Buku ini terdiri atas 50 pelajaran yang diresapi oleh pendididkan moral.
Buku dengan crak yang sama ialah Taman Sari oleh J. Kats, yang berisi cerita-cerita yang disampaikan guru kepada anak-anak kelas rendah. Banyak buku-buku yang dirasa ketinggalan jaman dan buku-buku terjemahan oranga belanda cenderung berisi pandangan dari orang belanda itu sendiri. Buku-buku tersebut tidak dapat menimbulkan rasa nasionalaisme atau kewarganegaraan Indonesia. Akan tetapi, pada umumnya orang juga cenderung tidak suka mempelajari kebudayaan sendiri disekolah. Yang mereka inginkan adalah kebudayaan dan pengetahuan barat. Pendidikan barat memberikan rasa superioritas, membuka pintu pekerjaan yang baik, dan juga bahkan hingga batas tertentu menghilangkan batas-batas sosial.