Mohon tunggu...
Hartmantyo
Hartmantyo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

SDK 1 YSKI, SMPK YSKI, SMAN 2 Semarang,sosiologi UGM 2011.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Smartphone, Kebutuhan Atas Tekanan Masyarakat

15 September 2012   04:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:26 449
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Blackberry, iPhone, Samsung Galaxy (android), siapa yang sekarang tidak tahu tentang reputasi ketiga gadget tersebut ? atau biasa disebut dengan smartphone. Saat ini smartphone sedang menjadi trend di masyarakat, terutama di kota-kota besar. Mungkin ketiga ponsel tersebutlah yang sekarang bisa dikatakan sebagai rajanya ponsel di negeri ini.

Namun, apa sebab sebenarnya sehingga ketiga ponsel ini bisa begitu meledak di pasaran ? Dari beberapa pengalaman saya ketika mengobrol dengan si empunya smartphone tersebut, saya mendapatkan beberapa alasan. Yang pertama karena memang ke-smart-an ketiga ponsel tersebut. Fitur-fitur yang canggih, mulai dari blackberry messenger, android market, hingga Siri pada iPhone. Kedua, harganya yang terbilang murah untuk ponsel sekelas smartphone. Harga Blackberry (CDMA) dipasaran yang termurah kisaran harga tujuh ratus hingga satu juta rupiah, sedang Samsung galaxy termurah ada pada kisaran satu juta seratus ribu rupiah, dan untuk iPhone masih relatif mahal, ada pada kisaran dua juta keatas. Terakhir, ada orang yang mengganti ponsel lawasnya dengan smartphone karena alasan “tekanan” masyarakat.

Alasan yang terakhir itulah yang akan saya bahas, mengenai “tekanan” masyarakat. Tidak sedikit yang mengatakan tentang hal itu. Mereka beralih ke smartphone karena teman-teman, rekan sejawat, atau kelurga dan saudaranya banyak yang memakai smartphone. Secara tidak langsung, mereka serasa di tekan dan dipaksa untuk segara beralih pada smartphone.

Bentuk-bentuk tekanan itu ada beragam, contohnya, ada yang masalah gengsi atau prestige, masalah distribusi informasi,  hingga masalah eksistensi. Hal-hal tersebut tersirat melalui lontaran kata-kata yang mereka ucapkan seperti “malu dong gak pake iPhone, gak melek teknologi ntar dikiranya” “temen-temenku kalo nyebarin info atau tugas sekaranag lewatnya  BBM nih, kalo gak punya giman dong ?” “kalo pake Samsung galaxy (android) kan akses internetnya cepet banget, jadinya facebook-an, twitter-an bisa enak, eksis dikit biar gak ketinggalan jaman” Dan masih banyak lagi bentuk-bentuk “tekanan” masyarakat.

Sehingga mereka yang tidak memakai smartphone merasa sangat tertekan dan seakan-akan terkucilkan dari masyarakat. Tentulah membuat suatu keresahan dan ketidaknyamanan bagi orang-orang yang tidak mengunakan smartphone. Segeralah mereka yang memiliki “sedikit” budget tambahan akan langsung membelinya, paling tidak yang “murah” dulu.

Hal ini bisa di jelaskan dengan teori fakta sosial milik Emile Durkheim. Sederhananya, sebuah fenomena sosial di masyarakat yang mengatakan bahwa kekuatan sosial (masyarakat) memiliki sifat eksternal, memaksa, dan objektif. Eksternal, mereka berada di luar individu. Memaksa, individu dipaksa untuk bertindak sesuai apa yang dikehendaki oleh kekuatan sosial tersebut. Objektif, kekuatan tersebut bisa diperhitungkan secara objektif. Kesimpulannya, fakta sosial ini seolah-olah membelenggu setiap apa yang dikuasainya. Secara otomatis haruslah mereka yang berada dalam belenggu menuruti dan patuh dalam kuasa kekuatan sosial tersebut.

Dalam hal ini, smartphone memiliki kekuatan fakta sosial tersebut. Membuat masyarakat seolah-olah harus patuh dibawahnya, dan mengikuti untuk memiliki smartphone. Jika tidak mengikuti, maka mereka yang melanggar tentu mendapatkan sanksi-sanksi dari pemegang kekuasaan. Sanksi dalam masalah ini, ya seperti yang dikemukakan diatas. Mereka akan merasa resah, tidak nyaman, merasa dikucilkan, hingga ketinggalan informasi dan lainnya.

Ini membuktikan, betapa besarnya kekuatan masyarakat itu. Bargaining power bagi individu sangatlah kecil, dan bahkan sangat kecil peluangnya untuk mengalahkan kekuatan sosial masyarakat tersebut. Kecuali, kita memiliki kekuasaan dan kekuatan yang begitu besar. Kekuasaan dan kekuatan adalah kuncinya, kunci kemenangan.

Hartmantyo P Utomo

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun