Siapa yang tak pernah mendengar satu kata ini ? Ya, musik. Hampir setiap orang minimal pasti pernah mendengar satu kata ini. Campuran bunyi-bunyian dari berbagai macam alat mulai dari gitar, drum, ketipung, suling, kendang, biola, pita suara manusia, perkakas dapur, dan lain sebagainya dalam suatu tempo yang bersamaan maka jadilah alunan lagu yang disebut musik. Tentunya, selain alat musik, musik dikenal dengan pemain musiknya, semisal, band, duet vokal, choir, dan lain lain. Juga dengan aliran-aliran yang tak kalah banyak, dari yang cadas seperti, metal, punk, rock n roll, hardcore, yang cocok untuk bergoyang semisal dangdut, RnB, hip-hop hingga yang lembut seperti blues, jazz, dan pop. Ya, itulah musik dengan beberapa "pernak-perniknya"
Namun, kali ini saya tidak akan membahas tentang "bedah" lagu, sejarah musik atau musisi-musisi legenda. Tapi saya ingin membahas sisi lain tentang musik, yaitu membahas tentang fenomena musik di masyarakat dengan fokus primordialisme dan etnosentrisme antara beberapa kelompok aliran musik.
Pembahasan saya mulai dengan definisi primordialisme dan etnosentrisme. Definisi sederhana dari primordialisme sendiri adalah sifat seseorang yang begitu membangga-banggakan kelompok-nya secara berlebihan. Berkebalikan dari primordialisme, etnosentrisme sendiri dalam definisi sederhananya adalah sikap seseorang yang memandang rendah kelompok lain. Dalam konteks pembahasan kali ini yang saya maksud dengan kelompok adalah kelompok aliran-aliran musik. Saya ambil beberapa contoh yaitu metal, punk, dangdut, pop, jazz, dan blues.
Dari beberapa tahun terakhir, saya kerap berbincang-bincang tentang aliran-aliran musik dengan kawan-kawan saya. Beberapa kawan saya ini mungkin bisa disebut sebagai “informan” saya . Kawan-kawan yang saya ajak berbincang-bincang ini memiliki latar belakang aliran musik yang berbeda-beda, sehingga mampu membuat saya mendapatkan berbagai macam pandangan mengenai beberapa aliran musik. Dari perbincangan ini kita dapat mengetahui pandangan-pandangan bernada primordial sekaligus etnosentris, jika kita mampu mencerna setiap katanya.
Kawan saya yang pertama ini adalah penganut metal “sejati”, kata-kata bernada primordial sekaligus etnosentris yang sering keluar dan sering saya perhatikan setiap kali berbincang kira-kira seperti ini “ah, music itu ya metal, keras, cadas, keren ! itu music yang paling laki banget. Yang pokoknya enggak kebanci-bancian gitulah” Yang kedua, kawan saya dengan latar belakang dangdut “sak modare” atau dangdut sampai mati. Kira-kira dia berceloteh seperti ini “dangdut coy ! music asik yang merakyat banget, enggak sok kaya anak-anak lainnya. Enak buat goyanglah” Kemudian ada yang beraliran punk, “anak punk itu sehidup semati initnya, lainnya punk cuman “apaan” deh” Ada juga yang perwakilan pop berkata “pop musiknya enak banget buat dirasain, gak kaya music lainnya yang teriak-teriak gak jelas, gak bisa dirasain, aneh mereka” Kemudian penganut jazz “aku suka jazz karena begitu eksklusif musiknya, gak murahan kaya yang lain tentunya” Dan terkhir dari anak blues yang berkata “blues music paling cerdas, dan paling bagus dari lainnya”
Dari berbagai macam perbincangan dan setiap kata yang kira-kira munculnya seperti itu, sangat tersirat jelas bagaimana bentuk primordialisme dan etnosentrisme dari kawan-kawan saya yang “mewakili” aliran music favorit mereka. Masing-masing dari mereka yang menunjukan bahwa aliran yang disukainya begitu “paling baik” dan aliran di luar alirannya sepertinya mereka anggap “picisan” Ya, terkesan begitu subjektif. Seakan yang mereka suka adalah yang terbaik dan tidak peduli dengan lainnya. Tapi inilah fakta yang ada yang pernah saya temukan si sekitar saya.
Seperti apa jika mereka saling bertemu dan berdebat tentang argument-argumen background music mereka masing-masing ? yang pastinya memunculkan dampak positif dan negative bagi pihak yang berdebat. Dampak positifnya yang pernah saya rasakan sendiri ketika mengobrolkan pandangan subjektif itu ialah kita akan semakin memperkaya ilmu kita tentang music yang tidak sealiran dengan background kita dan yang pasti mampu memperluas jaringan pertemanan kita. Asalkan, perdebatan tersebut disikapi dengan kepala dingin dan lapang dada. Namun sisi negatifnya, pernah saya dengar dalam satu konser yang menyajikan 2 aliran music yaitu metal dan punk terjadi perkelahian (bukan moshing) yang serius. Yang ternyata setelah saya cari tahu masalahnya adalah saling adu mulut dan saling mengejek antara keduanya. Puncaknya, berbuah pada baku hantam dan pembubaran konser music tersebut oleh polisi.
Terlepas dari baik atau buruknya sikap primordialisme dan etnosentrisme tersebut, keduanya akan selalu muncul untuk memberikan warna dalam dinamika permusikan yang sekarang sedang naik-naiknya bila kita saksikan dengan seksama. Hal ini tidak mungkin kita salahkan juga tidak mungkin kita hentikan, karena ini bentuk kebebasan berekspresi mereka masing-masing. Jika kita berusaha-minimal-menhentikannya justru kita sendiri yang salah, karena melanggar setiap dari mereka yang berekspresi. Dan tentang kebebasan berekspresi ini juga ada aturan hukumnya. Jadi jangan asal ambil tindakan ya.
Ya ini sedikit sharing saya menegenai sedikit opini dari pengalaman di sekitar. Saya coba tuangkan dalam artikel sederhana ini yang mungkin masih banyak kekurangan. Semoga pengalaman saya ini berguna dan bermanfaat bagi semua orang. Terimakasih.
Hartmantyo P Utomo
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H