Mohon tunggu...
Hartmantyo
Hartmantyo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

SDK 1 YSKI, SMPK YSKI, SMAN 2 Semarang,sosiologi UGM 2011.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pencitraan, Drama dalam Masyarakat

19 September 2012   16:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:13 404
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Masa kampanye untuk Pilgub DKI Jakarta putaran ke-2 saat ini sedang berlangsung. Kedua pasang calon terus menerus melancarkan aksi-aksinya dengan berbagai cara, seperti turun ke lapangan dan berinteraksi dengan para warga, bertemu partai-partai koalisi, mengadakan orasi, hingga bersilahturahmi ke beberapa ormas di Jakarta. Hal tersebut dilakukan untuk mendulang banyak suara pada saat pencoblosan nantinya.

Namun bila kita cermati lebih mendalam, kedua pasang calon tersebut juga sedang dalam proses pembentukan citra atau yang populer disebut pencitraan. Pencitraan acap kali dilakukan saat berlangsungnya kampanye dengan sasaran utaman yang sudah jelas, yaitu masyarakat. Para calon berlomba-lomba menunjukan karakter positifnya kepada masyarakat dengan cara mereka masing-masing. Semisal, mencuatkan karakter kebersahajaannya, memunculkan kesederhanaannya, menunjukan kepandaiannya dan lainnya.

Pencitraan, merupakan suatu cara pembentukan citra diri yang di tujukan kepada masyarakat umum dan biasanya bersifat positif. Pencitraan seolah memberikan informasi pada masyarakat tentang karakter yang khas mengenai seseorang. Lewat pencitraan jugalah kita dapat mengenali salah satu sisi seseorang dalam kehidupannya.

Beberapa masyarakat tentu ada yang terhanyut dalam buaian pencitraan kedua pasang calon. Semisal Jokowi dengan kesederhanaannya, Foke dengan kharismanya, Nara dengan latar belakang militer, dan Ahok dengan representasi pluralitasnya. Sejumlah masyarakat tersebut nampaknya sedang menikmati hiburan kampanye yang indah yang dihadirkan kedua padsang calon tersebut. Namun, di sisi lain masyarakat, ada yang bertanya-tanya mengenai keorisinilan pencitraan kedua pasang calon tersebut. Benarkah yang di tampilkan atas pencitraan mereka merupakan sifat asli mereka dalam kehidupan sehari-hari ? Ataukah hanya seseorang yang sedang memainkan suatu peran dalam sebuah drama di masyarakat ? Hal inilah yang menjadi sorotan utama dalam artikel ini.

Seperti yang sudah-sudah, para calon yang sedang berkampanye selalu menampilkan pencitraan terbaiknya di masyarakat. Namun setelah calon tersebut terpilih dan diangkat menjadi pemimpin suatu daerah atau negara, tak jarang kekecewaan masyarakat mulai muncul sedikit demi sedikit. Hal tersebut dikarenakan karakter asli dan karakter pada saat pencitraan mereka dahulu berbeda jauh dan justru ada yang bertolak belakang. Masyarakat banyak yang merasa tertipu oleh “drama” yang dilakukan sang pemimpin. Imbasnya, hubungan antara masyarakat dengan sang pemimpin menjadi buruk dan pembangunanpun dapat tersendat akibat kurang adanya partisipasi juga komunikasi yang baik antar kedua belah pihak.

Penjabaran masalah diatas dapat dijelaskan dengan teori dari sosiolog asal Amerika Serikat, Erving Goffman tentang Dramaturgi. Dramaturgi, menurut Erving Goffman sendiri merupakan presentasi/peran diri kita dalam kehidupan sehari-hari. Dramaturgi juga dianalogikan Goffman dengan suatu pertunjukan teater. Ada tiga unsur dalam analogi teaternya, yaitu aktor, panggung, dan backstage.

Yang pertama adalah aktor. Sang aktor memainkan perannya sesuai skenario dengan beberapa daya tarik yang menjadi ciri khas aktor tersebut. Daya tarik tersebut dapat berupa kostum yang ia kenakan, perilaku, penampilan, benda yang ia gunakan. Jelas, dalam konteks Pilgub DKI Jakarta ini sang aktor, semisal Jokowi, menggunakan daya tariknya berupa perilaku yang sederhana dan dan ciri khas kemeja kotak-kotaknya.

Kedua adalah panggung. Panggung/setting tempat menjadi tempat bagi sang aktor menjalankan aksinya sesuai skenario. Di sini, panggung di analogikan dengan wilayah DKI Jakarta, yang menjadi lokasi kampanye kedua pasang calon tersebut. Seperti di pemukiman kumuh, Monas, ruang terbuka di Jakarta, perumahan warga, dan lain sebagainya

Yang terakhir adalah backstage atau belakang panggung. Menjadi simbol dimana aktor melepas segala kostumnya dan kembali menjadi dirinya yang asli. Contohnya, dimana Foke setelah masa kampanye kembali bertugas menjadi gubernur DKI Jakarta, dan Jokowi yang menanggalkan kostum kemeja kotak-kotaknya dan kembali bertugas di Solo.

Dari sedikit penjabaran diatas, dapat disimpulkan bahwa pencitraan hanya merupakan suatu drama dalam masyarakat. Pencitraan bagaikan suatu peran dalam teater dimana sang aktor berperan tidak sesuai kehidupan nyatanya dibalik panggung hiburan. Yang artinya, itu merupakan peran palsu untuk mengelabui masyarakat. Namun, apakah pencitraan yang dilakukan pasangan Foke-Nara dan Jokowi-Ahok juga merupakan peran palsu ? biarkan masyarakat yang menilainya.

Maka kita sebagai masyarakat haruslah pandai dalam memilah dan memilih pasangan calon yang ada. Jangan mudah terbuai oleh pencitraan para pasangan calon semata. Kenali dengan dekat dan mendetail mengenai sifat dan karakter asli para pasangan calon. Agar nantinya, kita tidak salah dalam menggunakan hak suara kita dan partisipasi kita dalam pembangunan negeri terasa berguna dengan baik dan tidak sia-sia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun