Mohon tunggu...
Hartito Hargiasto
Hartito Hargiasto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Seorang Mahasiswa yang tertarik dengan dunia akuntansi dan perpajakan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Tantangan dan Peluang Pajak Kekayaan dalam Mengatasi Kesenjangan Ekonomi di Indonesia

15 April 2024   17:35 Diperbarui: 17 April 2024   02:51 730
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kesenjangan ekonomi di Indonesia terus memperlebar jurang antara kelas sosial. Pada tahun 2017, Oxfam in Indonesia dan International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) menyatakan bahwa kekayaan empat orang terkaya di Indonesia setara dengan kekayaan gabungan dari 100 juta orang termiskin. Selain itu, World Inequality Report 2022 menyatakan bahwa di tahun 2021, 10% populasi orang terkaya Indonesia memiliki 60% total kekayaan rumah tangga. Jumlah tersebut berbanding terbalik dengan 50% populasi orang termiskin Indonesia yang hanya memiliki kurang dari 5% total kekayaan rumah tangga. World Inequality Report 2022 juga menyatakan bahwa kesenjangan ekonomi Indonesia tidak mengalami perubahan yang signifikan dalam 20 tahun terakhir.

Kesenjangan ekonomi ini dapat membawa dampak buruk bagi Indonesia. Salah satu dampak buruk tersebut adalah ketidaksetaraan akses terhadap pendidikan dan layanan kesehatan. Masyarakat dengan kondisi ekonomi kurang seringkali tidak mampu untuk mengakses layanan pendidikan dan kesehatan yang layak. Hal ini memperburuk kesenjangan yang ada dan menghambat mobilitas sosial. Selain itu, kesenjangan ekonomi juga telah terbukti berkontribusi pada peningkatan kriminalitas. Kesenjangan ekonomi menciptakan ketegangan yang memicu perilaku kriminal yang pada akhirnya akan mengakibatkan gangguan keamanan masyarakat. Tidak hanya itu, kesenjangan ekonomi juga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Masyarakat dengan kondisi ekonomi kurang, memiliki daya beli yang terbatas. Keterbatasan daya beli masyarakat dengan kondisi ekonomi kurang yang mengisi sebagian besar populasi masyarakat Indonesia ini akan menghambat pertumbuhan ekonomi secara makro. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil tindakan untuk mengatasi kesenjangan ekonomi yang ada.

Salah satu instrumen yang dapat digunakan pemerintah untuk mengatasi kesenjangan ekonomi adalah melalui pajak. Pajak memiliki fungsi redistribusi yang berperan dalam mendistribusikan ulang pendapatan dari masyarakat dengan kondisi ekonomi baik ke masyarakat dengan kondisi ekonomi kurang. Di Indonesia, fungsi ini tampak dari penerapan PPh, PPN dan PPnBM serta PBB. Kendati pajak-pajak tersebut telah diterapkan sedemikian rupa, kesenjangan ekonomi di Indonesia tetap tidak berkurang dan justru meningkat karena pandemi COVID-19 pada tahun-tahun terakhir. Peningkatan kesenjangan ekonomi ini terbukti dengan publikasi BPS yang menyatakan rasio gini Maret 2023 tercatat sebesar 0,388. Angka ini naik 0,007 poin dibandingkan dengan rasio gini September 2022 (0,381) dan meningkat 0,004 poin dibandingkan dengan Maret 2022 (0,384).

Kesenjangan ekonomi ini menunjukkan bahwa masih terdapat celah yang dapat dimanfaatkan sebagian masyarakat atas penerapan pajak di Indonesia. Masyarakat dengan kondisi ekonomi sangat baik atau biasa disebut High Net Worth Individual (HNWI) mampu melakukan perencanaan pajak sehingga dapat mengurangi beban pajak yang harus mereka tanggung. HNWI cenderung lebih banyak mendapat penghasilan dari investasi yang berasal dari instrumen pasar modal dan pasar uang. Penghasilan ini dikenakan pajak penghasilan final dengan tarif yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan tarif pajak penghasilan atas sumber penghasilan aktif dari pekerjaan dan usaha. Dari hasil analisis The Prakarsa (2022), ditemukan adanya asimetri pembayaran pajak di antara kelas pekerja dan HNWI di Indonesia. Kelas pekerja dikenai pajak dengan tarif pajak penghasilan yang berkisar antara 5-35 persen. Sementara itu, tarif pajak penghasilan akhir dari berbagai sumber penghasilan pasif yang dihasilkan HNWI berkisar antara 0 persen (warisan) hingga 25 persen (hadiah undian). Hal ini menunjukkan bahwa keadilan pajak secara vertikal belum terlaksana dengan baik.

Pemerintah dapat meningkatkan keadilan pajak secara vertikal dengan membuat kebijakan pajak baru yang dikenakan atas aset yang dimiliki oleh HNWI yaitu kebijakan pajak kekayaan. Dengan konsep broad-based tax, pajak kekayaan didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan pada sebagian besar atau keseluruhan jenis aset yang dimiliki setiap individu, tidak hanya jenis tertentu seperti perumahan (Advani et al., 2020). Selain itu, Actionaid (2018) menyatakan bahwa pajak kekayaan dapat dikenakan pada kekayaan bersih, pemindahan kekayaan, dan apresiasi atas kekayaan. Pajak atas kekayaan bersih dikenakan atas total aset yang dimiliki dikurangi dengan total utang. Pajak atas pemindahan kekayaan dikenakan atas pajak warisan, donasi, dan hibah. Sedangkan pajak atas apresiasi kekayaan dikenakan atas keuntungan modal.

Pajak kekayaan harus dikenakan tepat sasaran kepada HNWI yang memang memiliki kemampuan ekonomi lebih baik dibandingkan lapisan masyarakat lainnya. Meskipun HNWI hanya mewakili sebagian kecil lapisan masyarakat, HNWI memiliki kontribusi yang cukup besar atas penerimaan pajak secara keseluruhan. Penerapan pajak kekayaan kepada HNWI akan menunjukkan kepada masyarakat luas bahwa pemerintah berkomitmen untuk menerapkan sistem perpajakan berkeadilan dengan beban pajak yang proporsional baik untuk lapisan masyarakat bawah maupun untuk lapisan masyarakat atas.

The Prakarsa, lembaga swadaya masyarakat yang berfokus pada kajian sosial, telah melakukan riset mengenai penerapan pajak kekayaan di Indonesia pada tahun 2022. Hasil riset The Prakarsa menyimpulkan bahwa penerapan pajak kekayaan di Indonesia dapat mengatasi ketimpangan penghasilan dan melengkapi jenis-jenis pajak yang ada, khususnya bagi HNWI yang mungkin memiliki sumber pendapatan pasif yang bernilai cukup besar. Hasil riset The Prakarsa juga merekomendasikan pemerintah Indonesia untuk menyusun kebijakan tentang pajak kekayaan. Format pajak kekayaan yang diusulkan adalah pajak kekayaan dengan tarif progresif sebesar 1-2 persen, dengan ambang batas kekayaan bersih yang dikenakan lebih dari 10 juta USD dari kekayaan bersih total gabungan aset, termasuk tabungan bank, deposito, saham, waran, surat berharga, sukuk, logam mulia, donasi, warisan, mata uang kripto, dan hibah. Pajak kekayaan dikenakan sebanyak satu kali dalam setahun kepada Wajib Pajak mewakili keluarga.

Pemerintah menanggapi hasil riset tersebut melalui Direktorat Jenderal Pajak. Direktorat Jenderal Pajak menyampaikan bahwa sebenarnya Indonesia sudah mempunyai aturan pajak kekayaan yaitu PBB dan Pajak Kendaraan Bermotor. Namun, kedua jenis pajak tersebut tidak dikhususkan bagi HNWI saja, melainkan bagi semua masyarakat. Kemudian, Direktorat Jenderal Pajak juga mengidentifikasi adanya risiko dan tantangan dalam penerapan pajak kekayaan. Risiko yang mungkin terjadi yaitu Wajib Pajak dapat melakukan asset transfer dan capital outflow ke negara lain demi mengamankan kekayaan, utamanya ke tax haven countries. Asset transfer dan capital outflow ini bertentangan dengan salah satu tujuan diadakannya program pengampunan pajak dan program pengungkapan pajak sukarela yaitu mendorong repatriasi aset untuk meningkatkan investasi dalam negeri. Pemerintah perlu memitigasi risiko ini untuk dapat menerapkan pajak kekayaan dengan optimal. Selain itu, terdapat beberapa tantangan yang harus dihadapi dalam penerapan pajak kekayaan. Tantangan pertama yaitu perumusan kebijakan perpajakan yang adil dan sederhana dari segi tujuan kebijakan, sasaran Wajib Pajak yang dikenakan, penentuan threshold, model dan tarif. Kedua, penerapan kebijakan di lapangan, terutama atas valuasi nilai harta kekayaan dan utang, serta risiko adanya resistensi masyarakat dan penghindaran oleh Wajib Pajak. Ketiga, kepatuhan pajak Wajib Pajak di Indonesia yang masih rendah. Terakhir, tantangan mengenai jumlah shadow economy di Indonesia yang cukup besar.

Selain risiko dan tantangan tersebut, pemerintah juga harus mempertimbangkan kemungkinan adanya peningkatan persepsi negatif masyarakat atas penerapan pajak kekayaan. Saat ini, terdapat persepsi dimana mengelompokan masyarakat dengan kondisi ekonomi sangat baik untuk memajakinya lebih lanjut, diibaratkan seperti sebuah ekspedisi untuk berburu di kebun binatang. Persepsi negatif ini dapat berdampak buruk pada kepatuhan pajak masyarakat. Oleh karena itu, pemerintah perlu mengambil langkah komunikasi yang efektif dan transparan untuk menjelaskan tujuan, mekanisme, dan manfaat dari penerapan pajak kekayaan, serta memperkuat tindakan penegakan hukum yang adil dan proporsional sehingga kebijakan yang diterbitkan dapat lebih terarah dan berdampak positif bagi keadilan sosial dan kesejahteraan masyarakat.

Pada akhirnya, meskipun terdapat risiko dan tantangan yang beragam, tak bisa dipungkiri bahwa pajak kekayaan adalah salah satu alternatif perpajakan yang menarik untuk dipertimbangkan oleh pemerintah, terutama di era reformasi perpajakan saat ini. Dengan menerapkan pajak kekayaan yang adil, pemerintah dapat lebih meratakan distribusi kekayaan dan meningkatkan keadilan pajak khususnya bagi HNWI yang memiliki sumber pendapatan pasif yang cukup besar. Dalam jangka panjang, pajak kekayaan dapat meningkatkan penerimaan pajak, mengurangi ketergantungan pada pajak-pajak yang lebih merugikan bagi golongan menengah ke bawah dan membantu mengatasi kesenjangan ekonomi yang ada di Indonesia.

*)Artikel ini merupakan pendapat pribadi penulis dan bukan cerminan sikap instansi tempat penulis bekerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun