Dalam rangka Dies Natalis ke 37, Kelurga Besar Universitas Widya Mataram Yogyakarta melakukan rakaian kegiatan yang dimulai 7 September hingga 12 Oktober 2019, dan pada hari ini diadakan ziarah ke Makam Raja-Raja Imogiri dan sarasehan budaya di Pendopo Agung Widya Mataram.
Sarasehan dimulai pukul 12:30 sampai pukul 15:00 dengan tiga narasumber yaitu Rektor UWM Prof. Dr. Edy Suandi Hamid, WR 1 Prof. Dr. Ambar Rukmini, dan Budayawan Heru Kismoyo.
Pembicara memaparkan bahwa budaya memiliki pemikiran yang dalam dan komprehensif, sehingga kluster budaya yang harmonis di kampus nDalem Mangkubumen diharapkan dapat menciptakan atmosfer akademik untuk menghantarkan para civitas akademik mendukung perguruan tinggi menjadi unggul antara lain dalam 9 kriteria keunggulan akreditasi, Rektor menambahkan bahwa UWM mengalami peningkatan peminat, berjenjang dari 31% dan tahun ini 15%. Sebagai penutup paparannya dikatakan pendidikan tidak hanya proses mentransfer ilmu pengetahuan, namun budaya dan ideologi sebagai komponen ketahanan nasional.
Prof. Ambar menyampaikan bahwa UWM didirikan 7 Oktober 1982, bangunan kampus ini merupakan milik Kraton Yogyakarta, yang awalnya dipinjamkan untuk perkuliahan UGM, dan sejak 1982 karena UGM sudah mendapatkan tanah di Bulaksumur maka Mangkubumen kosong, kemudian atas prakarsa Sultan HB X yang kala itu seijin Ayahandanya Sultan HB IX, mendirikan perguruan tinggi swasta dengan harapan nantinya perguruan tinggi ini menjadi tempat pendidikan bagi calon pemimpin bangsa, dikampus ini diharapkan anak-anak bangsa dapat mengenyam pendidikan dengan berbaur dan saling mengenal budaya satu sama lain untuk memahami kultur mataram. UWM tidak sekedar bercita-cita menambah deretan panjang perguruan tinggi, maka kurikulum didasari 3 pilar: etika, moral, dan martabat dengan salah satu bentuknya adalah mata kuliah Kewidyamataraman dan pusat kajian budaya mataram.
Budayawan Heru Kismoyo, memaknai Universitas Widya Mataram di dalam nDalem Mangkubumen, sesuai dengan amanat Sultan HB IX, berharap agar UWM go internasional dengan peradaban budaya, sehingga memilih ungkapan "Kampus Perdaban" dan memaknai Widya Mataram sebagai penyambung mata rantai peradaban.
Dalam kehidupan yang universal, menyitir pendapat Prof. Emmanuel Subangun bahwa Mataram adalah satu-satunya mata rantai yang masih hidup "pencerahan batin/ banyu bening" yang bermakna pendalaman ilmu secara hakiki.Â
Menjadi Jawa, adalah setiap orang yang memahami dan melakukan tata karma Jawa sehingga disebut "nJawani", hal ini juga selaras dengan pendapat Prof. Magnis Suseno.Â
Heru Kismoyo berpendapat bahwa manusia secara kodrati dapat dilihat dari historis perjalanannya, sejarah peradaban manusia yang universal ini harus dipahami, sejarah adalah adalah sebuah narasi yang membentuk kesadaran tertentu dalam kesadaran historis berbangsa, bukan sekedar kumpulan catatan.Â
Untuk UWM harus merumuskan jati diri, mendasarkan peradaban nusantara sebagai keunggulan komparatif, salah satunya dengan membangun filsafat budaya Mataram sebagai inti, selaras dengan pendapat Khairuddin Harahap tentang bagaimana memahami cara berfikir para pendiri Mataram, dengan berbagai instrumennya, misal: aspek magis-religius, sosiologis, hingga katuranggan, estetika, maklumat, pradoto, manunggaling kawulo Gusti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H