[ini adalah lanjutan dari album 1. Bagi yang lupa dengan cerita sebelumnya bisa di tengok di --->
http://fiksi.kompasiana.com/prosa/2011/01/03/sunset-dan-sunrise-sebuah-novel-album-1/
Selamat membaca]
Tiga lelaki itu memilih untuk naik taksi. Sementara aku mengendarai sepeda motor sendirian.
Entah siapa yang bego, aku atau Aziz. Saat kemarin dia menghubungiku via SMS, dia hanya bilang: besok aku dijemput di Stasiun Tugu, jam 3 sore. Itu saja. Dia tidak bilang bahwa akan datang bersama dua temannya. Dan karena kebegoannya itu, atau mungkin kebegoanku, aku menjadi merasa tak enak kepada tamu-tamuku itu.
Keluar dari stasiun, aku baru menyadari kejanggalannya. Aku pergi ke parkiran, mereka mengikuti. Saat mengetahui aku hanya membawa sepeda motor, Aziz langsung meledak tertawa.
“Oh iya ya, mengapa aku tak berpikiran sampai ke sana,” ucapnya.
Jujur sejak di dalam stasiun tadi, pikiranku sudah terpusat ke satu hal, temannya Aziz si Landung itu. Si pemilik mata elang itu. Dia telah menyeretku dalam lingkaran pesonanya. Berjalan di sampingnya membuatku gugup. Hal inilah yang membuatku lupa akan fakta bahwa sepeda motor hanya mampu membawa 2 orang di antara kami. Lalu yang 2? Tas-tas mereka? Aku meruntuk dalam hati. Bodoh. Bodoh.
Aziz memutuskan untuk naik taksi bersama kedua rekannya, menuju rumahku di daerah Ring Road utara, tepatnya di dekat Monumen Yogya Kembali.
Sebelum naik ke taksi tadi, aku sempat mencuri pandang ke arah Landung. Entah mengapa, aku merasa dia juga melirikku sekilas. Hanya sekilas kurasa, selebihnya dia lebih sering menunduk, memandang ke apapun; tugu, baliho, tukang becak yang berjajar di depan stasiun, rel kereta, atau Aziz atau Bari.
Mereka tinggal di rumah untuk beberapa hari sebelum mereka pindah ke tempat kos di daerah Pogung, daerah kos-kosan di utara Fakultar Teknik Universitas Gadjah Mada. Keadaan ini membuatku tiap waktu bertemu dengan Landung. Kami berpapasan di dapur, atau di tempat makan, kadang di ruang televisi, namun lebih sering di halaman belakang dekat kamar mandi.