Mohon tunggu...
Harsen Roy Tampomuri
Harsen Roy Tampomuri Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Master of Arts (M.A.) Student, Politics & Government UGM | B.A. in Government | Duta Bahasa | Duta Wisata | Health Ambassador | Liaison Officer | etc

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Manusia Perahu: antara Kebijakan dan Ketidakbijaksanaan

1 Desember 2014   07:13 Diperbarui: 17 Juni 2015   16:23 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1417367430620089982

oleh: Harsen Roy Tampomuri

Manusia perahu bisa saja bagian dari WNI yang belum rampung didata oleh BPS (Badan Pusat Statistik). Data BPS tahun 2010 ada sekitar 10.030 orang suku-suku terpencil yang belum rampung didata. Malaysia sibuk memberikan warga negara bagi Suku Bajau/Bajo dan menerima wilayah Indonesia yang mau bergabung. Indonesia sibuk untuk menolak manusia perahu dan kurang memperhatikan wilayah-wilayah yang sedikit lagi lepas dari NKRI.

Akhir-akhir ini pemberitaan tentang manusia perahu menjadi ramai baik di media cetak, media elektronik dan berita online. Pemerintah Kabupaten Berau, Kalimantan Timur memberikan klarifikasi bahwa manusia perahu yang adalah Suku Bajo/Bajau bukanlah warga negara Indonesia melainkan Malaysia dan Filipina. Di sisi lain Malaysia dan Filipina juga tidak mengakui manusia perahu sebagai bagian dari warga negara mereka. Namun sebuah kebijakan yang humanis dari pemerintah Malaysia “Kerajaan Sabah dan Pemerintah Malaysia kini sedang mengkaji untuk memberikan kewarganegaraan bagi manusia perahu tersebut. Sehingga mereka diharapkan akan memiliki identitas tidak lagi disebut illegal” ungkap Senior Deputy Komisioner Police Wilayah Sabah, Datuk Jalaluddin, Jumat 28/11/2014 (newsbalikpapan.com).


Manusia Perahu di Berau, Kalimantan Timur (Foto: Fabian Januarius Kuwado)

Mungkin ada yang masih bingung siapa manusia perahu yang sementara menjadi trending topic dalam pemberitaan akhir-akhir ini. Manusia perahu yang dimaksud adalah 544 orang yang ditampung di tenda Kampung Tanjung Batu, Berau, setelah ditangkap satuan keamanan laut dari Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama TNI dan Polri. Banyak spekulasi dalam mengidentifikasikan siapa mereka sebenarnya, ada yang mengungkapkan kalau mereka adalah nelayan dari Samporna Malaysia, dan ada juga yang dengan yakin menyatakan mereka bukan orang Indonesia tapi Filipina. Yang berpendapat bahwa manusia perahu asalnya dari Malaysia dengan asumsi bahwa mereka berasal dari Suku Bajau/Bajo. Keyakinan bahwa mereka orang Filipina diungkapkan sebagai asumsi karena katanya mereka perawakannya seperti orang Filipina dan berbahasa Tagalog. Apakah asumsi–asumsi ini benar adanya? Semuanya masih dalam perdebatan.

Kalaupun mereka adalah orang Malaysia karena dari Suku Bajau/Bajo maka hal tersebut dapat disangsikan sebab di Indonesia ada ribuan warga negara yang aslinya dari Suku Bajau/Bajo. Sebagai contoh: di Desa Mola, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Kabupaten Wakatobi, Sulawesi Tenggara; Labuhan Bajo di Teluk Bima, Nusa Tenggara Timur, Kima Bajo, Talawaan Bajo, Bajo Tumpaan di Manado, di Pesisir Teluk Tomini Gorontalo, Tanjung Sibajau di Kepulauan Simeuleue, Aceh, Kalimantan Ti­mur (Berau, dan Bontang), Ka­limantan Selatan (Kota Baru) disebut orang Bajo Rampa Ka­pis, Sulawesi Selatan (Selayar), Sulawesi Tenggara, Nusa Teng­gara Barat, Nusa Tenggara Ti­mur (Pulau Boleng, Seraya, Lo­ngos, dan Pulau Komodo), dan Sapeken, Kepulauan Kangenan, Sumenep Jawa Timur, Singaraja dan Denpasar Bali dan beberapa tempat lainnya.  Sebagian orang Suku Bajau/Bajo sudah hidup di darat serta mengikuti pola hidup masyarakat modern tapi masih banyak juga yang tetap hidup menyatu dengan laut. Kebanyakan dari mereka tidak nyaman terlalu lama di darat dan lebih nyaman di atas laut.

Kalaupun mereka orang Filipina karena perawakan mereka dan bahasa Tagalog yang digunakan maka hal tersebut dapat disangsikan juga sebab Indonesia, Malaysia dan Filipina masih dalam rumpun yang sama sehingga sangat sulit memberikan spesifikasi identitas dari perawakan/ciri-ciri fisik. Selain itu bahasa yang mereka gunakan bukanlah bahasa Tagalog tapi bahasa Suku Bajau/Bajo. Menangkap dan mengkriminalkan manusia perahu menurut hemat saya sebagai tindakan yang kurang tepat dan bisa jadi dapat memperburuk citra Indonesia di mata dunia. Tidak menutup kemungkinan mereka itu benar Suku Bajau/Bajo yang adalah warga negara Indonesia. Manusia perahu bisa saja bagian dari WNI yang belum rampung didata oleh BPS (Badan Pusat Statistik). Data BPS tahun 2010 ada sekitar 10.030 orang suku-suku terpencil yang belum rampung didata.

Alangkah baiknya ketika ada inisiatif pemerintah untuk melakukan koordinasi dengan berbagai pihak serta ahli agar tidak membuat kebijakan populis yang keliru. Berkoordinasi dengan Abdul Manan Presiden Suku Bajo Indonesia dan para pakar yang mengetahui dengan jelas perkembangan suku-suku bangsa di Indonesia sekiranya dapat menjadi salah-satu solusi. Hal positif juga bisa dicontohi dari Pemerintah Malaysia yang walaupun mengklaim manusia perahu bukan warga negara mereka tapi mau memberikan kewarganegaraan agar beridentitas dan tidak illegal lagi. Kecermatan dan kepekaan pemerintah Indonesia dalam menegakkan kedaulatan negara tidak hanya memperhatikan Indonesia secara geo-politik tapi sekiranya memperhatikan juga secara sosio-politik.

Munculnya fenomena manusia perahu mendapatkan perhatian pemerintah ketika yang diangkat adalah motif ekonomi (ketakutan Indonesia akan hasil laut). Di sisi lain pemerintah kurang membuat kebijakan strategis guna pengelolaan wilayah perbatasan buktinya Sepuluh desa di Kecamatan Long Apari, Mahakam Ulu, Kalimantan Timur (Kaltim), mengancam akan bergabung dengan negara Malaysia dengan alasan tidak diperhatikan pemerintah. Belum lagi beberapa desa di Kalimantan Barat dan wilayah perbatasan lainnya di Indonesia yang semakin mencuat mengancam integrasi bangsa. Malaysia sibuk memberikan warga negara bagi Suku Bajau/Bajo dan menerima wilayah Indonesia yang mau bergabung. Indonesia sibuk untuk menolak manusia perahu dan kurang memperhatikan wilayah-wilayah yang sedikit lagi lepas dari NKRI. Intinya tidak hanya dibutuhkan keberanian dan kepintaran dari pemerintah tapi dibutuhkan kepekaan dan kecerdasan dalam mengelolah luasnya wilayah Indonesia dan majemuknya latar belakang penduduk Negara Kesatuan Republik Indonesia. (hrt30112014)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun