Mohon tunggu...
Harry Tjahjono
Harry Tjahjono Mohon Tunggu... lainnya -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Potret Simpenan dalam Dompet

24 September 2012   17:27 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:47 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

KALAU sedang istirahat makan siang, topik  yang asyik diperbincangkan teman-teman pria di kantor adalah soal anak, istri dan masalah rumah tangga. Masing-masing berusaha menonjolkan kebahagian perkawinannya. Caranya macam-macam. Ada yang mengungkapkan hal-hal luar biasa, atau langsung menyimpulkan, “Kesetiaan suami, bisa dideteksi lewat foto siapa yang ada di dalam dompetnya.,” kata Mas Widodo, teman sekantor yang paling senior.

“Kalau begitu saya termasuk suami yang setia,” kata saya sambil membuka dompet selekasnya.

Mas Wid mengamati potret istri dan ketiga anak saya, yang terselip dibalik plastik dompet.

“Saya juga suami yang setia dong,” kata Anto seraya membuka dompetnya.

“Ini istrimu?” tanya Reza.

“Ya. Cantik ya?” sahut Anto balik bertanya.

“Boleh juga…,” kata Reza singkat.

“Mas Wid sendiri bagaimana?” tanya saya mengusut.

“Saya ini sudah tua. Suami yang sudah tua itu seringkali tidak punya pilihan lain kecuali setia,” sahut Mas Wid kalem.

“Tapi Mas Wid masih menyimpan foto istri dalam dompet, kan?” desak saya.

Mas Wid menggeleng.

“Berarti Mas Wid bukan tipe suami setia dong?” tanya Anto.

Mas Wid tersenyum. Reza yang rupanya belum tertarik untuk ikut membeberkan isi dompetnya, juga tersenyum.

“Lihat dompetnya dong, Mas..,” kata Anto seperti membujuk.

Dengan santai Mas Wid merogoh saku celana. Entah kenapa saya merasa was-was—tepatnya berharap foto yang ada di dompet Mas Wid bukanlah foto istrinya, melainkan…

“Foto siapa itu, Mas Wid?” tanya Anto.

Saya ikut melongo dompet Mas Wid. Saya lihat ada foto dua anak kecil sedang tertawa. Usia mereka sekitar empat dan tujuh tahun.

“Ini foto cucu saya tercinta,” kata Mas Wid, lalu mengecup foto yang ada di dalam dompetnya.

“Lho? Kok bukan foto istri? Kok malah foto cucu?” tanya saya heran.

“Seperti sudah saya bilang tadi, suami yang sudah tua seperti saya ini tak bisa lain memang harus setia. Tak ada pilihan. Selain itu juga tak lagi gentar dicemburui istri, apalagi merasa takut kehilangan istri yang sama-sama sudah tua,” kata Mas Wid.

“Maksudnya?” tanya Anto

“Begini. Kita menyimpan foto istri di dalam dompet, itu karena untuk menunjukkan rasa cinta kita pada istri. Iya, kan? Itu juga berarti ungkapan bahwa kita selalu ingat padanya. Iya, kan?”

Kami, kecuali Reza yang sedari tadi senyum-senyum, mengangguk setuju.

“Nah, kalau sudah tua seperti saya, kecintaan kita tak lagi tercurah pada istri. Tapi, lebih kepada cucu. Mungkin timbul pertanyaan, apakah istri tidak cemburu melihat foto yang ada di dompet kok potretnya cucu? Tidak. Karena di dalam dompet istri, yang ada juga bukan foto saya, melainkan potret cucu tercinta,” lanjut Mas Wid.

Saya dan Anto manggut, sementara Reza senyum-senyum belaka.

“Potret siapa yang ada di dompetmu?” tanya Anto pada Reza.

“Iya..., lihat dong,” kata saya menambahi.

Dengan santai Reza membuka dompetnya.

“Lho?  Ini kan bukan istrimu?” tanya saya kaget.

“Memang. Ini potret pacar saya. Potret istri saya ada di rumah. Sengaja saya besarkan, saya kasih bingkai, supaya bisa digantung di tembok,” kata Reza santai.

“Kamu ini bagaimana, sih? Potret selingkuhan kok disimpen di dompet. Kalau ketahuan istrimu bagaimana? Kacau, dong!” kata Anto kalang-kabut.

“Kalau ketahuan, memang kacau. Tapi, kami sudah sepakat bahwa dompet adalah wilayah pribadi yang tak boleh diintip, apalagi dibuka. Artinya, kami sudah sepakat, bahwa saya tak akan pernah mengintip isi dompet istri, sementara istri juga dilarang keras membuka dompet saya,” sahut Reza kalem.

“Tapi bagaimana kalau secara tak sengaja istrimu melihat potret itu?” tanya saya was-was.

“Gampang. Bilang saja, wah..., ini pasti ulah iseng teman-teman di kantor yang usil menyelipkan foto wanita di dompet saya supaya istri cemburu.”

“Waduh!”

“Memangnya kenapa?” tanya Reza.

“Itu berarti kamu mengambinghitamkan teman kantor, dong!”

“Apa boleh buat. Menurut saya bukan cuma politikus saja yang selalu butuh kambing hitam. Para suami  juga perlu punya.”

“Tapi, apakah istrimu percaya bahwa potret itu ada di dompetmu karena ulah teman sekantor?”

“Tentu saja percaya. Karena apa? Karena jauh sebelum ini saya sudah mengarang cerita bahwa teman-teman sekantor itu suka iseng, suka berbuat usil dan aneh-aneh supaya si Anu ribut dengan istrinya dan seterusnya,” kata Reza tetap santai.

“Buat apa kamu mengarang dusta begitu?”

“Wah, kamu ini bego amat sih? Itu namanya untuk mengkondisikan istri, supaya di dalam pikirannya sudah terpateri pengertian bahwa teman-teman kantor saya itu usil-usil, suka iseng, jahil dan seterusnya. Jadi, kalau misalnya dia lihat potret simpenan saya ada di dompet, lalu saya bilang itu ulah iseng teman kantor, dia nggak kaget lagi. Selain nggak kaget, juga bisa menerima dan mempercayai alasan itu. Begitu man….”

Saya dan Anto saling pandang, sementara Mas Widodo dengan enggan bangkit dari kursi dan berlanjak pergi meninggalkan kami.  Saya mengira Mas Wid tersinggung, atau mungkin kecewa terhadap Reza yang ternyata bukan suami setia.

“Mau ke mana, Mas?” tanya saya was-was.

“Ke kamar kecil dulu…,” kata Mas Wid.

Saya melotot pada Reza yang masih senyam-senyum santai memandangi potret simpenan dalam dompetnya.

“Gara-gara kamu Mas Wid jadi nggak mau ngobrol dengan kita lagi. Nggak mau membagi pengalaman bagaimana caranya membangun rumah tangga yang awet dan bahagia,” kata Anto menyesalkan.

"Iya, nih..., kamu nggak menghormati Mas Wid, sih? Kualat kamu nanti," saya menambahi.

Reza tersenyum. “Asal tahu saja..., kiat potret simpenan dalam dompet  ini saya petik dari pengalaman Mas Wid ketika masih muda,” katanya santai.

Saya dan Anto melongo. ***

*Cerpen ini pernah dimuat di tabloid Bintang Indonesia dan buku Suami Istri sadarlah. Rencana akan diterbitkan ulang

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun