Mohon tunggu...
Harry Tjahjono
Harry Tjahjono Mohon Tunggu... lainnya -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Politik

Foke Mestinya (Masih) Bisa Menang (4 Penutup)

23 Agustus 2012   09:16 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:25 897
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Bagian Terakhir

Saat dihubungi Kompas.com, Rabu (22/8/2012),Tim Pemenangan Fauzi Bowo-Nachrowi Ramli mengaku dalam soal poles-memoles penampilan, calon dukungan mereka bisa dikatakan tertinggal. "Pak Gubernur orangnya apa adanya, sangat natural. Dia bukan tipe orang yang performance diatur, dibikin-dibikin," kata Budi Siswanto, anggota Tim Pemenangan Foke-Nara. Menurut Budi, karena tak bisa berpura-pura dalam tutur kata dan pembawaan diri, akibatnya, warga bisa saja menangkap kesan yang berbeda-beda pada diri Foke. "Dengan latar belakang Betawi yang sering berbicara apa adanya, ceplas-ceplos, orang bisa saja menilai Bapak Gubernur kurang halus, padahal tidak demikian," kata Budi. Menurut Budi, berbicara apa adanya dan ceplas-ceplos sudah menjadi pembawaan Foke sejak dulu. Ia berpandangan, hal itu adalah karakter alami Foke yang tidak perlu dipalsukan. Budi justru mengkritisi pihak lain yang dinilai terkesan ramah dan terlalu menata penampilan. "Kesannya penuh kepura-puraan dan by design," kata Budi tanpa mau merujuk ke pihak tertentu.

Menyampaikan informasi yang tentu diharapkan berbuah respon positif sembari merendahkan orang lain, kita tahu, kalau bukan khilaf pastilah konyol. Maka bisa dimengerti jika sewaktu tulisan ini diketik sudah tercatat 139 komentar bernada keras dan negatif terhadap pernyataan itu.

Ceplas-ceplos alias ngotot dan “ngocol”, memang terlanjur dikenal dan dipercaya sebagai karakter alami (mungkin lebih tepat karakter kultural) orang Betawi. Pelenong Bokir, komedian Benyamin S, Mandra, Malih Tongtong dan Mpok Nori adalah beberapa tokoh kesenian Betawi yang berjasa memopulerkan karakter ceplas-ceplos orang Betawi. Belakangan budayawan Ridwan Saidi yang asli Betawi juga tampil ceplas-ceplos di banyak acara televisi. Bahkan dalam beberapa penampilanya di televisi, Ridwan Saidi lebih ceplas-ceplos dari Foke. Nyatanya, penampilan ceplas-ceplos mereka dapat diterima dan direspon positif oleh publik.

Lalu, apa yang salah dengan ceplas-ceplosnya Foke?

Bisa jadi karena dua alasan di bawah ini,

Pertama, saya sepakat bahwa karakter alami seseorang tidak perlu (karena memang tidak bisa) diubah dengan kepura-puraan yang by-design. Tapi, saya tidak sependapat apabila karakter alami seseorang dipahami sebagai hak istimewa untuk mengabaikan tata krama yang berlaku umum dalam masyarakat. Mengabaikan tata krama hanya akan membuat tutur kata ceplas-ceplos kebablasanke ranah sarkastik. Lagi pula menghormati tata krama bukan berarti berpura-pura by-design bukan?

Kedua, karena publik tidak benar-benar yakin bahwa Foke orang Betawi. Bisa karena nama Fauzi Bowo tidak mencirikan nama orang Betawi. Bisa karena publik tidak pernah menyaksikan keseharian Foke sebagai orang Betawi. Bisa karena ketika tampil di televisi sebagai Gubernur atau bintang iklan, Foke tidak ceplas-ceplos layaknya orang Betawi.

Saya pribadi memilih alasan yang kedua: karena publik tidak benar-benar yakin bahwa Foke orang Betawi. Logikanya sederhana saja. Kalau publik yakin Foke orang Betawi, ceplas-ceplosnya tentu lebih mudah dimaklumi.

Padahal, dan tentu saja, Foke asli Betawi. Ia bahkan masih terbilang cucu Muhamad Husni Thamrin, pahlawan nasional asli Betawi, yang sejak zaman Ali Sadikin sudah dikenal warga Jakarta yang merasakan manfaat program MHT singkatan Muhamad Husni Thamrin. Nama MHT identik dengan perbaikan got dan gang yang menjadi urat nadi perkampungan di Jakarta. Got dan gang yang disemen rapi di lingkungan padat penduduk, selalu mengingatkan orang pada MHT. Seperti halnya dulu pintu tol selalu mengingatkan orang kepada vitamin Xon-Ce. Seperti halnya baju kotak-kotak, bahkan benda berbentuk kotak termasuk kotak suara Pilgub DKI, akan membuat orang teringat kepada Jokowi.

Mendirikan patung Muhamad Husni Tharmin dari perunggu setinggi 4,5 di atas pondasi 2,5 meter di ujung Jalan MH Thamrin - Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, yang diresmikan Foke pada 6 Juni lalu, memang baik dan pantas. Tapi, mengaktualkan atau merevitalisasi program MHT, hemat saya tentu jauh lebih baik dan lebih pantas. Sebab, manfaat program MHT terbukti dapat dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Seperti dapat kita baca di etikemik.wordpress.com, pada 2007, tahun pertamaFoke jadi Gubernur DKI, Program MHT berkembang menjadi MHT perbaikan kampung terpadu yang dilaksanakan pada 5 wilayah di DKI Jakarta selama 2 tahun. Di bawah kepemimpinan Foke, program MHT memang masih dilaksanakan. Tapi terkesan sekadar proyek rutin belaka. Tidak gegap-gempita seperti pembangunan jalan layang, koridor busway, mal, dan proyek infrastruktur raksasa lainnya—sementara warga Jakarta penghuni kampung kumuh hanyalah penonton. Sebagai Gubernur, Foke mungkin memang harus berkonsentrasi pada program-program besar, sedangkan program MHT yang rutin cukup didelegasikan kepada pejabat setingkat kepala dinas. Hasilnya barangkali tetap baik, akan tetapi pendelegasian program MHT membuat Foke terputus tali silaturahim dengan rakyat kecil penghuni kampung padat penduduk yang tak lain adalah warga terbesar Jakarta. Sejumlah kebakaran yang sebulan terakhir menghanguskan beberapa perkampungan di Jakarta, barangkali dapat dibangun kembali dengan program MHT yang karena bersifat darurat langsung dikomandani gubernur. Selain bisa selesai dengan cepat, tali silaturahmi antara pemimpin dan rakyatnya akan tersambung kembali. Gagasan yang naïf, memang. Barangkali karena sebagai rakyat saya terbiasa punya harapan yang naïf.

Sebagai penulis, saya pernah bikin hampir seratus skenario sinetron seri berlatar belakang Betawi. Tahun 2011, saya malah bikin lagu Pak Gubenur untuk Mandra, dan belakangan saya dengar lagu itu dinyanyikan Mandra di panggung kampanye Foke-Nara. Tapi, itu bukan berarti saya pendukung Foke-Nara dan apalagi bagian dari timses atau apanya Foke-Nara. Hal itu saya sampaikan semata untuk menjelaskan bahwa saya punya kecintaan dan cukup paham tentang budaya dan karakter orang Betawi. Saya memang pernah dua kali bertemu Foke. Pertama tahun 2007 di rumah Rano Karno dan tahun 2011 di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Jakarta Selatan. Dua pertemuan itu berlangsung di forum diskusi terbuka. Kesan saya dari dua pertemuan itu, Fokememang ceplas-ceplos, ngocol, kocak, tapi kalau arogan saya pikir enggaklah. Saya sepakat bahwa kengocolan Foke di lokasi kebakaran Karet memang kebablasan jadi sarkastik. Saya pikir, keberadaan tokoh dan ormas pendukungnya yang selama ini dikenal eksklusif lagi tersohor arogan, apa boleh buat, menimbulkan anggapan identik dengan Foke.

Sebab, aneh juga bahwa hampir semua pemberitaan tentang Foke di media cetak, elektronik dan on-line, rata-rata bernada negatif. Lebih aneh lagi karena Foke tidak berupaya (atau tidak berdaya) untuk mengimbanginya dengan melansir berita positif. Padahal, itu bukan mustahil dilakukan.

Berita yang betul-betul murni berita, kita tahu, adalah berita yang diciptakan Tuhan. Misalnya berita tentang kematian tokoh terkenal, atau bencana alam. Sedangkan berita yang lazimnya disusun dari fakta sosiologis yang didapat dari kejadian suatu peristiwa dilengkapi fakta psikologis yang diucapkan tokoh atau figur yang diwawancara, kemurniannya sedikit banyak tentu diwarnai kebijakan media dan subyektivitas penulisnya. Pada ruang itulah sebenarnya dapat diupayakan terbitnya berita penyeimbang. Tentu saja bukan berita bohong, dan apalagi berita humas yang lebay dan klise.

Sebagai penutup, bulan Ramadhan kemarin saya diajak Mas Arswendo buka bersama Jokowi di kawasan Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Kenalan dan salaman dengan Jokowi, tapi tidak ngobrol lantaran takut kehabisan nasi liwet. Saya memang terpikir untuk menulis tentang Jokowi. Sebab, ternyata asyik juga nulis beginian. Jadi bisa serius mikir, dan bisa ngawur juga…..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun