Mohon tunggu...
Harry Tjahjono
Harry Tjahjono Mohon Tunggu... lainnya -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Debat TVOne: Adu Pintar atau Adu Mulut Besar?

8 Oktober 2012   16:22 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:04 3744
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Sewaktu mulai menulis artikel ini, acara Debat masih berlangsung di TVOne. Di panggung panelis ada Pak Bibit Samad Riyanto (mantan Wakil Ketua KPK), Trimudya Panjaitan (anggota DPR RI),dan Indra Sahnun Lubis (advocat). Topik yang diperdebatkan bertajuk: KPK Digembosi?

Di bangku penonton sekaligus peserta, selain Hotman Paris Hutapea advokat top-tulalop, tampak beberapa pengacarayang meskipun belum terlalu kondang tapi lagak-lagunya kurang lebih nyaris top-tulalop. Trimudya Panjaitan, meskipun dengan suara lembut, tetap menganggap UU KPK perlu direvisi. Sedangkan yang bersikukuh membela eksistensi KPK adalah para aktivis, antara lain Fadjroel Rachman.

Acara  yang berlangsung satu jam itu berakhir tanpa kesimpulan, tak pula sekadar menyisakan sesuatu yang cukup baik untuk diingat. Bahkan yang diperdebatkan bukan lagi topik yang telah disepakati bersama, terutama lantaran peserta sekaligus penonton yang berprofesi advokat justru berlomba baku cekcok seraya membusungkan dada layaknya kingkong yang merasa hebat hanya karena berhasil membuat keributan.

Acara berjudul Debat itu ternyata juga tidak menampilkan para pakar yang adu pintar dan oleh karena itu sebetulnya  lebih cocok dikasih judul Adu Mulut Besar.

Anehnya, yang dominan buka mulut justru Hotman Paris Hutapea yang duduk di bangku penonton sekaligus peserta. Doktor hukum ini sungguh juara ngotot dan kampiun bicara cepat. Kata-katanya tajam cenderung sarkas, sambil tak lupa melakukan pembelaan sekaligus membangun opini publik untuk kepentingan kliennya, M. Nazarudin. Benar-benar top-tulalop. Pengacara berpostur imut ini juga beberapa kali memotong ucapan penonton/peserta lain yang disebutnya tidak tahu hukum dan pernyataan merendahkan lainnya. Bahkan dengan kepala mendongak berusaha kelihatan jangkung, Hotman membombardir sejumlah tuduhan kepada pimpinan, penyidik dan institusi KPK. Kata Hotman, kalau pimpinan KPK era Pak Bibit benar bersih dan jujur, mestinya Angelina Sondakh sudah ditahan sejak setahun lalu. Luar biasa.

Dari panggung panelis, serangan terhadap KPK datang dari moncong Indra Sahnun Lubis, pengacara kondang yang pernah menyebut Deny Indrayana bertubuh pendek  mirip penjaga masjid. Tak kalah tajam dengan Hotman, advokat berambut klimis mengkilat itu menyebut pimpinan KPK era Pak Bibit Samad Riyanto sebagai tidak jujur dan mestinya  masuk penjara. Bahkan tanpa tedeng aling-aling Sahnun menuduh Pak Bibit semasa aktif sebagai polisi pasti juga berlaku korup. KetikaPak Bibit menyilakan Indra datang ke rumahnya, pengacara klimis itu mengatakan toh uang hasil korupsi bisa disimpan. Luar biasa lagi.

Sepengetahuan saya, barang siapa diundang  tampil sebagai “bintang tamu” sebuah acara televisi, maka salah satu hal paling terlarang dilakukan adalah mempermalukan “bintang tamu”. Di negara maju, mungkin lebih tepat di negara beradab, “bintang tamu” yang merasa dipermalukan bisa mengajukan tuntutan hukum terhadap individu yang mempermalukan, produser acara berikut stasiun televisi yang menyiarkan. Dan individu yang pernah mempermalukan apalagi merendahkan “bintang tamu”, agak mustahil untuk bisa muncul di layar televisi lagi.

Tapi, hal yang sebaliknya justru berlaku di Indonesia. Semakin garang menyerang, justru semakin sering diundang tampil di banyak TV-program. Semakin berani mempermalukan dan semakin arogan dalam merendahkan siapapun yang dianggap lawan, justru dianggap sebagai bintangnya acara televisi. Agak mengherankan juga jika Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tidak melihat hal-hal seperti itu sebagai sesuatu yang mestinya tidak perlu ada di layar televisi.

Apa karena yang bertingkah luar biasa itu  pengacara top-tulalop sehingga sudah hilang nyali sebelum berani memperkarakan perbuatan mereka?

Atau barangkali di negeri ini orang tak lagi punya rasa malu sehingga tidak mungkin bisa dipermalukan?

Tapi, di kampung halaman saya, demi harga diri atau demi entah apa, orang yang merasa dipermalukan kalau tidak bunuh diri biasanya membunuh yang mempermalukan dirinya. Saya pikir itu cukup menjelaskan bahwa di negeri ini masih ada orang yang punya rasa malu, punya harga diri, dan terutama punya nyali untuk melawan.***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun