Kemarin ini saya baca di running text Berita Satu bahwa Menkopolhukam Luhut akan menertibkan medsos. Disusul pernyataan pengamat politik Indra Samego yang menyebut: medsos sering bikin gaduh.
Penertiban, yang akrab dengan ingatan saya, lazimnya dilakukan Satpol PP terhadap PKL atau bangunan liar. Maka di benak saya lantas saja muncul pertanyaan gembira: apakah medsos itu termasuk PKL atau bangunan liar sehingga perlu ditertibkan? Apakah medsos lebih berbahaya dari PKL atau bangunan liar sehingga tidak cukup hanya ditertibkan oleh polisi yang dibekali UU ITE? Benarkah medsos sering bikin gaduh? Tapi bukankah DPR juga sering bikin gaduh? Lalu kenapa DPR tidak ditertibkan sekalian? Bukankah setiap kali Satpol PP melakukan penerbitan, selalu timbul kegaduhan? Lalu apakah ketika medsos ditertibkan tidak akan timbul kegaduhan? Kenapa menertibkan hal yang sering bikin gaduh jika menimbulkan kegaduhan? Supaya kegaduhan isyu “papa minta saham” teralihkan?
Saya yakin Pak Menko dan Pak Pengamat dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan gembira itu secara cermat berikut hasil survei, data statistik serta kajian ilmiah. Hanya saja, bagi saya, data statistik dan kajian ilmiah semacam itu sudah “selesai”secara tidak “maknyuss”—dalam arti sekadar sekumpulan angka dan serangkaian kata-kata belaka. Atau dalam bahasa yang lebih gagah, sekumpulan angka dan rangkaian kata semacam itu hanyalah sebuah “realitas psikologis” yang tidak menggambarkan atau bahkan seringkali malah bertentangan dengan “realitas sosial”.
Sebagai misal, ketika gardu polantas di sebuah perempatan diresmikan, Pak Kapolres berpidato didukung data statistik kecelakaan dan kejahatan yang terjadi di lokasi itu, guna membangun “realitas psikologis” bahwa, “Dengan adanya gardu ini maka lalu lintas bisa lebih tertib dan kejahatan bisa dicegah.” Sayangnya, “realitas sosial” menyajikan kenyataan bahwa sejak ada gardu itu maka pungli tidak lagi dilakukan di pinggir perempatan.
Kembali pada pertanyaan gembira: benarkah medsos sering bikin gaduh dan perlu diktertibkan?
Medsos konon identik dengan dunia kaum muda, dunianya orang-orang yang berjiwa muda dan berpikir merdeka. Oleh karena itu wajar jika medsos sering gaduh dan berisik. Tapi, bukankah juga wajar kalau kaum manula yang ingin menikmati hidup damai tenteram merasa terganggu dan berniat menertibkan medsos?
Sebagai manula, saya punya kisah nyata tentang betapa pentingnya hidup adem ayem. Alkisah di depan rumah saya ada ruang terbuka seluas lapangan badminton. Setiap hari, dari pagi sampai magrib, lapangan itu tak pernah sepi dari anak-anak yang main bola, galasin, layangan dan lain sebagainya. Sungguh gaduh dan berisik, sehingga kalau ingin tidur siang yang tenteram, saya terpaksa memutar musik cukup keras atau menimbun kepala dengan bantal.
Lain halnya dengan tetangga saya, sebut saja Pak STW, sesama manula yang juga merasa terganggu dan menempuh banyak cara untuk menghentikan kegaduhan tersebut. Merampas bola anak-anak, misalnya. Ketika pagar rumahnya dikencingi, anak-anak disuruh mencuci dengan sabun—sebab walaupun tidak gaduh mengencingi pagar itu menimbulkan bau pesing, bukan? Dan seterusnya, dan sebagainya.
Puncaknya, ketika kegaduhan anak-anak itu tetap saja terjadi, Pak STW memecahkan sejumlah lampu neon di lapangan. Belingpun bertebaran, dan selama tiga hari setelahnya lapangan itu benar-benar damai tenteram.
Tapi, menertibkan kegaduhan dengan kegaduhan rupanya bisa berbuah senjata makan tuan. Sebab, di hari keempat, pagi-pagi sekali di halaman rumah Pak STW tergolek bangkai ayam dan beberapa tas kresek berisi tinja yang entah dilempar oleh siapa. Saya menduga yang membuat Pak STW terserang stroke adalah karena salah satu tas kresek itu pecah dan melumuri bonsai kesayangannya….***