Mohon tunggu...
Harry Tjahjono
Harry Tjahjono Mohon Tunggu... lainnya -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Rizal Ramli 'Dikepret' Gonjang-ganjing Anto Baret

20 November 2015   13:03 Diperbarui: 20 November 2015   13:09 770
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Kamis malam, 10/11/2015, di Bulungan, Jakarta Selatan, Anto Baret bersama Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) Jakarta merilis album baru berjudul Gonjang-Ganjing. Selain pertunjukan musik, acara tersebut juga diramaikan Ine Febrianti, Jajang C Noor, Embie C Noor, Otig Pakis, Teguh “Ali Topan’ Esha dan budayawan Radar Panca Dahana yang tampil membacakan syair lagu di album itu.

Menko Maritim Rizal Ramli (RR) hadir sebagai ‘kawan lama’ komunitas pekerja budaya di gelanggang Bulungan. Ketika ditanya wartawan apakah sebagai pejabat RR tidak merasa dikepret syair lagu dalam album Gonjang-Ganjing yang berisi kritik keras terhadap elite politik dan petinggi republik ini, RR menjawab santai, “Ya enggaklah. Kalaupun dikepret teman saya malah senang.” Selebihnya, RR duduk santai dan asyik nonton hingga acara menjelang berakhir.

Saya ikut sebagai penggembira dan kebagian tugas membacakan syair lagu Linglung karya Anto Baret. Selain itu, kebetulan syair lagu Gonjang-Ganjing itu diadopsi dari Orasi Melawan Koruptor dan Politisi Busuk, yang tahun 2013 lalu saya tulis dan bacakan keliling pesantren dan di sejumlah daerah. Saya ingat waktu baca orasi di pesantren Gus Nuril, di Rawamangun, kebetulan saya sepanggung dengan Rhoma Irama (RI) yang waktu itu hadir sebagai Calon Presiden PKB dan sedang mencari dukungan dari kalangan santri.

Iseng saya bilang, “Lagu-lagu Bang Haji kan banyak yang bertema rakyat jelata. Kalau Bang Haji jadi presiden, siapa lagi yang menyuarakan penderitaan rakyat?” Sesaat RI terdiam, lalu menjawab, “Kan ada Iwan Fals.” Saya berbisik ke telinganya, “Iwan Fals sekarang sudah jadi juragan kopi, Bang Haji.” Belum sempat merespon, RI keburu didaulat tampil membahas narasi yang saya bacakan dari sudut pandang agama. Lho?

Syukurlah masih ada Anto Baret yang tetap setia menyuarakan kegelisahan, kemarahan dan penderitaan orang-orang jalanan. Saya merasa senang bisa berkolaborasi dengannya. Saya juga senang karena di acara tersebut bisa bertemu teman-teman lama, antara lain Herna Soe dan Dik Yanto—penulis dan wartawan senior yang dulu pernah kerja bareng mengelola majalah Sarinah dan tabloid Bintang Indonesia.

Sambil nonton, saya ngobrol dengan RR, Herna dan Dik Yanto. Saya banyak ditanya, apakah kritik masih perlu? Apa pentingnya? Apa hebatnya? Bukankah semua orang sekarang berani mengkritik? Dan seterusnya. Saya mencoba menjawab sebisanya. Juga agak ngawur, memang.

Kritik mungkin tidak bisa mengubah tabiat korup pejabat dan politisi. Tapi, setidaknya perlu ada perlawanan terhadap upaya penyesatan nalar publik yang digencarkan media-massa—terutama stasiun televisi yang notabene dikuasai para ketua umum partai politik.

Dalam hal tabiat para wakil rakyat, DPRD dan DPR RI, yang doyan suap dan rajin korupsi, misalnya, terkesan ada penyesatan nalar bahwa tugas dan kewajiban wakil rakyat itu adalah melakukan hal-hal yang tidak bisa dilakukan oleh rakyat. Maka, karena rakyat hidup miskin maka wakil rakyat mewakili hidup kaya raya. Karena rakyat tidak bisa disuap maka wakil rakyat mewakili menerima suap. Karena rakyat tidak bisa korupsi maka wakil rakyat mewakili korupsi. Karena rakyat tidak bisa minta saham Freeport maka ketua wakil rakyat mengemis saham Freeport.

Tentu opini satire yang konyol itu tidak saya maksudkan untuk meremehkan kecerdasan publik. Apalagi rakyat tidak bodoh-bodoh amat. Tapi, benarkah nalar publik tidak bisa disesatkan oleh syahwat politisi yang menguasai media-massa?

Meskipun agak melenceng, saya ingin menganalogikannya dengan politik dagang juragan kopi, yang melalui televisi telah sukses mengendalikan selera ngopi kita dengan kopi sasetan. Berapa juta orang Indonesia yang sekarang ini kehilangan kendali atas takaran gula, kopi dan susu yang diminumnya? Semua sudah dikemas dalam saset. Kentalnya segitu, manisnya segitu, silakan diseduh dan ditelan secara praktis dan instan. Warung-warung kopi menyajikan kopi sasetan. Istri di rumah juga lebih suka menyediakan kopi sasetan. Praktis dan instan. Tidak perlu repot meracik kopi bubuk dan menyendok gula.

Di tengah jutaan orang yang dikendalikan kopi sasetan, saya mungkin salah satu yang tetap ingin mengendalikan berapa sendok gula dan kopi yang saya tuang dari toples dan saya seduh di cangkir. Ya. Supaya bisa tetap pegang kendali atas takaran gula dan kopi yang saya minum, saya terpaksa bikin kopi sendiri. Sebab, kalau saya minta tolong dibikinkan oleh istri, dia pasti akan menyeduh kopi sasetan. Ngopi sambil ribut sama istri apa enaknya, bukan? ***

 

 

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun