Tulisan ini tidak ditujukan atau dimaksudkan untuk menyoal keputusan Ibas mundur dari DPR RI. Sebab, keinginan menulis “manuver” yang sedang nge-trend di kalangan politisi Senayan itu muncul ketika dua anggota dewan dari Golkar dan satu lagi dari PPP mundur dari partainya dan dari DPR RI, disusul Akbar Faisal yang mundur dari Partai Hanura dan DPRI RI, sudah muncul. Mereka berempat mundur dari partai dan DPR RI karena hengkang ke Partai Nasdem.
Ternyata semudah itukah mundur sebagai anggota dewan terhormat? Hanya perlu menggelar jumpa pers lantas seperti Pak Harto berkata singkat, “Saya menyataken berhenti” maka selesai sudah urusannya. Lalu bagaimana dengan tanggung jawabnya kepada konstituen? Tanggung jawab kepada konstituen? Wow!
Bagi kebanyakan politisi, konstituen hanyalah kerumunan banyak orang yang harus disihir menjadi surat suara dan kemudian dihitung berapa jumlahnya. Dengan kata lain, konstituen hanyalah sekadar deretan angka, bukan orang-orang yang punya nama, punya alamat, punya pekerjaan, punya harapan dan karenanya pada Pemilu lalu mencoblos si A. Jadi, apa perlunya bertanggung jawab pada deretan angka? Bisa-bisa disangka pecandu judi togel. Alhasil, lupakan sajalah soal tanggung jawab kepada konstituen.
Gaji, Hak dan Kekuasaan yang Besar.
Terpilih jadi anggota DPR RI bukanlah perkara mudah. Sejak mendaftar jadi caleg saja sudah harus bersusah payah. Mesti memenuhi syarat ini itu parpol yang mencalonkan, harus menyiapkan biaya kampanye yang jumlahnya bisa miliaran. Mesti rajin blusukan di penjuru dapil sembari membangun jaringan,harus fasih pidato menjanjikan segala sesuatu secara meyakinkan. Mesti pandai mengambil hati rakyat, harus selalu tersenyum dst dlsb—pendeknya harus berupaya dan bekerja ekstra keras, mesti berkeringat sangat banyak.
Kalau gagal terpilih risikonya ngekos di rumah sakit jiwa. Tapi, jika berhasil jadi anggota DPR RI semua jerih payah akan terbayar lunas plus bonus berlimpah.Selama lima tahun masa jabatan dijamin jarang bercucuran keringat karena tinggal rumah dinas ber-AC, kantor dan ruang sidang ber-AC, mobil dinas juga ber-AC. Selain itu gaji anggota DPR RI juga istimewa. Gaji pokok sekitar Rp 16 juta, ditambah tunjangan listrik, aspirasi, kehormatan, komunikasi dll jumlahnya sekitar Rp 50 juta per bulan atau Rp 600 juta per tahun. Karena masih ditambah lagi dengan uang macam-macam, jumlahnya bisa mencapai Rp 100 juta per bulan atau Rp 1,2 miliar per tahun. Katakanlah yang 30 persen harus disetor kepada partai, sisanya masih ratusan juta juga. Bagi yang lincah dan pandai melobi, terbuka kemudahan mendapat ijin menambang batubara, nikel, pasir besi dlsb sehingga kelak bisa pensiun sebagai miliarder.
Tapi, lebih dari semua tersebut di atas, terpilih jadi anggota DPR RI sesungguhnya dipercaya mewakili kepentingan dan kedaulatan rakyat, dan untuk menjalankan tugas mulia itulah anggota DPR RI dibekali hak dan kekuasaan yang luar biasa besar! Maklum, DPR RI era reformasi bukanlah DPR zaman Orde Baru (Orba) yang anggotanya hanya datang, duduk, dapat duit. Bukan pula perkumpulan paduan suara penghapal koor tunggal:”Setujuuu”. DPR RI era reformasi adalah lembaga demokrasi yang merepresentasikan kedaulatan rakyat atas republik ini. Hebat nian, bukan?
Supaya tidak lupa betapa mulia dan terhormatnya para anggota DPR RI, berikut ini petikan peran, fungsi, hak dan kekuasaan yang oleh Laksamana Sukardi dirinci dalam buku Memberantas Kemiskinan Melawan Gombalisasi Global antara lain sbb:
a. Membuat undang-undang (UU). Pemerintah dan DPR bisa berisiniatif mengajukan suatu rencana undang-undang (RUU). Tapi, siapapun inisiatornya, untuk disahkan jadi UU harus mendapat persetujuan DPR. Di zaman Orba RUU diajukan pemerintah dan DPR sekadar kasih stempel saja.
b. Hak budget yang dimiliki DPR adalah hak untuk menyusun prioritas alokasi anggaran, meliputi besaran dan sektor maupun daerah. Dengan demikian, DPR berwenang menentukan bentuk Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Di zaman Orba APBN sepenuhnya disusun pemerintah.
c. Mengemban tugas konstitusional untuk melaksanakan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Dengan memiliki Hak Angket dan Hak Interpelasi, DPR berhak memanggil dan bertanya kepada semua lembaga penyelenggara Negara maupun organisasi swasta. Tidak siapapun kebal dari panggilan DPR yang mengemban tugas konstitusi melaksanakan pengawasan.
d. Memilih Anggota Dewan Gubernur Indonesia—di zaman Orba yang memilih Presiden.
e. Memilih Hakim Agung dan Anggota Mahkamah Konstitusi—di zaman Orba dipilih Presiden.
f. Berwenang memilih dan menentukan Ketua dan Anggota Komisi-Komisi Inpenden seperti KPK, BPK, KPU, Komnas HAM, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan dlsb.
g. Memberikan persetujuan atas pengangkatan Panglima TNI dan Kapolri yang diusulkan Presiden.
h. Melakukan fit and propher test terhadap calon Duta Besar yang diajukan Presiden.
Citra Negatif Lembaga Terhormat
Dibanding KPK yang oleh anggota dewan sering disebut lembaga super-body, DPR RI yang memiliki hak dan kekuasaan sangat besar itu lebih pantas dijuluki lembaga mbahnya super-body. Suap Miranda Gultom, kasus Hambalang, mark-up furniture ruang banggar, korupsi Al Qur’an, kongkalikong anggaran, jual beli UU ayat tembakau, hanyalah beberapa contoh kasus yang menjelaskan bahwa pada DPR RI juga berlaku adagium Lord Acton: “Kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan yang absolut cenderung absolut pula korupsinya”.
Karena mengemban tugas konstitusional melaksanakan pengawasan terhadap jalannya pemerintahan, apakah kinerja DPR tidak perlu diawasi? Apakah DPR bisa diawasi? Siapa yang berwenang mengawasi? Badan Kehormatan (BK) DPR? Apakah BK benar-benar sudah mengawasi DPR? Bukankah peran BK mengawasi kinerja DPR ibarat “jeruk makan jeruk”? Apakah setelah diawasi BK maka kinerja DPR menjadi baik dan akan lebih baik lagi? Pertanyaan lain silakan dibikin sendiri.
Faktanya, anggota dewan yang membolos masih tetap banyak. Masih ada anggota dewan yang terima suap kuota impor daging sapi. Masih ada anggota dewan yang saat sidang asyik buka situs porno. Sejumlah rekening gendut milik anggota dewan tidak kunjung dijelaskan asal-usulnya. Undang-undang yang dihasilkan masih jauh di bawah target. Belakangan, fakta bahwa anggota dewan boleh mundur kapan saja karena alasan apapun, melengkapi citra negatif lembaga terhormat yang justru tidak dihormati oleh anggotanya yang bisa hengkang sesuka hatinya.
Menyaksikan deretan mobil mewah di lapangan parkir DPR RI, bahkan di antaranya Ferrari, yang mencerminkan kehidupan mewah para anggota dewan dan kalangan politisi, mengingatkan kita kepada ucapan Adam Smith, “Bilamana terdapat hartadalam jumlah besar, terdapat pula sejumlah besar ketidakmerataan. Untuk tiap satu orang yang sangat kaya, paling tidak akan ada lima ratus orang yang miskin. Dan dari kemewahan yang kaya dapat dibayangkan kemelaratan dari yang banyak itu.”
Baiklah. Anggota dewan yang dipilih dan diberi mandat mewakili kepentingan dan kedaulatan rakyat memang bisa mundur kapan waktu. Tapi, rakyattak bisa mundur.Sebab, rakyat sudah berada di barisan paling belakang, memunggungi jurang kemiskinan yang maha dalam. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H