Pada suatu senja, di tahun 1908. Di taman atap sebuah rumah pemukiman di Manhattan, Amerika Serikat, David Quixiano, komponis Rusia Yahudi muda usia itu berdiri sembari menggamit mesra lengan Vera, kekasihnya, gadis Kristen yang jelita. Di kejauhan, patung Liberty mengemilau jingga berlumur cahaya senja. David menuding kea rah kota Manhattan sambil berkata kepada Vera, “Di sanalah ia terletak, Panci Peleburan yang mahabesar itu. Dapatkah engkau mendengar ia menderu dan bergelora? Wahai dengarlah orang Celt dan Latin, orang Slay dan Teuton, orang Yunani dan Syria, hitam dan kuning…”
“Orang Yahudi dan bukan Yahudi,” bisik Vera sembari bergelayut manja.
“Ya! Amerika adalah sebuah Panci Peleburan yang mahabesar di mana semua ras sedang melebur dan terbentuk kembali! Seluruh permusuhan dan dendam kalian hanya senilai satu buah ara. Masuklah kalian semua ke dalam Panci Peleburan, di sini mereka semua akan bersatu guna membangun Republik Manusia dan Kerajaan Allah. Ah, Vera kekasihku…, apalah artinya kemuliaan Roma dan Yerusalem di mana semua ras dan bangsa gemar memandang ke belakang, dibanding dengan kemuliaan Amerika di mana semua ras dan bangsa datang untuk bekerja dan memandang ke depan!”
Berbarengan dengan David dan Vera yang berpelukan seakan-akan sedang mendekap masa depan, matahari pun terbenam. Laut menjadi hamparan kegelapan sehingga nyala obor patung Liberty laksana bintang penunjuk jalan. Gemuruh angin mengejar ombak, menampias karang, berlarian di pasir pantai, mengusap reranting bakau, kemudian bergabung dalam harmoni senandung David dan Vera yang menyanyikan syair, “Negaraku juga negerimu. Oo tanah indah kemerdekaan, untukmu aku bernyanyi. Nyanyian tentang kebebasan yang manis, dan menghidupkan lidah-lidah yang mati….”
Dan perlahan layar turun. Lampu-lampu dinyalakan. Dan sandiwara berjudul Melting Pot (Panci Peleburan) karya Israel Zangwill, penulis Inggris asal Rusia Yahudi itu berakhir, disambut gemuruh standing applaus warga Washington yang menonton. Bahkan sebelum layar kembali terangkat naik sepenuhnya, Presiden AS Theodore Roosevelt berseru seraya mendekati panggung, “Itu sandiwara yang hebat, Tuan Zangwill. Sungguh sandiwara yang hebat!”
Bendera Penolak Jawanisasi
Tentu hal mustahil jika sandiwara karya Israel Zangwill tidak terdapat dalam literatur kepustakaan Bung Karno, Bung Hatta dan para pahlawan kemerdekaan Indonesia. Bahkan bukan tidak mungkin sandiwara Melting Pot menginspirasi para founding father Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ketika menggali khasanah sastra Jawa Kuna semasa kerajaan Majapahit, dan menemukan makna Bhineka Tunggal Ika dalam kakawin Sutasoma karya Empu Tantular pada abad 14.
Ketika berpidato di Surabaya, 24 September 1955, misalnya, Bung Karno berkata, “Sebelum kita memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, aku ingin bersama-sama dengan pejuang lain membentuk satu wadah. Wadah yang bernama Negara. Wadah untuk masyarakat, bagi masyarakat yang beraneka agama, beraneka suku, beraneka adat-istiadat! Aku ingin membentuk satu wadah yang tidak retak, yang utuh, yang mau menerima semua masyarakat Indonesia yang beraneka itu dan yang masyarakat Indonesia mau duduk pula di dalamnya.”
Gubernur Aceh Abdullah Zaini dan mantan petinggi GAM yang pernah lama bermukim di Swedia, barangtentu pernah membaca atau sedikitnya mendengar tentang sandiwara Melting Pot yang sangat terkenal itu. Kalaupun menampik sandiwara Melting Pot yang kebetulan karya orang Yahudi, paling tidak Abdullah Zaini dan mantan petinggi maupun para kombatan GAM tentu mengetahui konsep Bhineka Tunggal Ika yang menjadi semboyan bangsa Indonesia.
Tapi, bagi mereka yang sejak lama berjuang dan bercita-cita memproklamirkan Aceh Merdeka, semboyan Bhineka Tunggal Ika yang bersumber dari khasanah Jawa Kuna itu tampaknya lebih mudah disalahpahami sebagai alat untuk memaksakan nilai-nilai “Jawanisasi”. Oleh karena itu, kengototan menjadikan bendera GAM sebagai bendera daerah Aceh, kiranya bisa dimengerti. Bukanlkah selembar bendera sudah lebih dari cukup untuk menjelaskan eksistensi sebuah Negara, sebuah bangsa, sebuah kedaulatan?
Jawafobia Warisan Leluhur
Tahun 1908, ketika Zangwill mementaskan lakon Melting Pot di Washington, Amerika sedang kebanjiran imigran dari penjuru dunia. Mereka datang bukan hanya berbekal harapan, melainkan juga membawa prasangka yang membengkak jadi kebencian dan memicu kerusuhan antar etnis. Dan setengah abad sebelum Zangwill menulis Melting Pot, tahun 1856, Abraham Lincoln dengan geram berkata, “Kemajuan kita dalam berkelakuan jelek berjalan cukup cepat. Sebagai suatu bangsa kita mulai dengan maklumat bahwa semua orang diciptakan sama. Tapi, pada kenyataannya maklumat itu kita baca sebagai: semua orang diciptakan sama kecuali orang Negro, dan orang-orang asing, dan orang-orang Katholik.”
Lakon Panci Peleburan yang dipentaskan keliling di seluruh Negara bagian Amerika, pada akhirnya menjadi alat propaganda agar kaum imigran rela meninggalkan masa silam dan asal usul mereka, supaya siapa saja menanggalkan prasangka dan dendam kesumat dari jiwanya, untuk melebur menjadi “orang Amerika”. Tapi, bersamaan dengan pujian dan standing applaus yang diberikan di setiap pementasan Panci Peleburan, ditempat lain bermunculan pula penolakan terhadap apa yang mereka sebut “program Amerikanisasi”, memaksakan konsep Anglo-sentris pada imigran non-Anglo.
Penolakan tersebut sampai sekarang masih terus berlangsung, dalam beberapa kasus bahkan ekstrem dan brutal. Pada 16 April 2007, misalnya, mahasiswa senior Virginia Tech etnis Korea bernama Cho Seung-hui, 23 tahun, menembak mati 32 orang di asrama dan kampusnya.
“Apakah Anda tahu rasanya dibakar hidup-hidup? Apa Anda tahu rasanya selalu dipermalukan?” kata Cho sebelum melakukan pembantaian. Ucapannya itu mungkin mencerminkan kondisi kejiwaan Cho yang mengalami depresi berat. Apakah brutalitas Cho juga bersebab dari residu kebencian yang berbiak Anglofobia warisan imigran leluhurnya? Sayang, jawabannya dibawa Cho ke liang kubur. Ia bunuh diri sesaat setelah membantai 32 orang.
Sang Saka Merah Putih, Bhineka Tunggal Ika dan Pancasila, yang secara gemilang “dipentaskan” keliling Nusantara oleh Bung Karno, Bung Hatta dan para pahlawan pendiri republik ini, juga disambut pengharapan dan diterima sebagai bendera, asas dan semboyan NKRI. Entah kebetulan atau karena sebab lain, bendera, asas dan semboyan tersebut semuanya digali dari khasanah budaya Jawa Kuna--khususnya Majapahit. Sang Saka Merah Putih mengacu pada Panji Gula Kelapa kerajaan Majapahit, Bhineka Tunggal Ika dari kakawin Sutasoma, demikian pula “judul” Pacasila yang memakai frasa Jawa Kuna.
Bagi mereka yang mewarisi residu prasangka dan kebencian dari leluhurnya, realitas sejarah itu ibarat virus Jawafobia. Sedangkan mereka yang pada dasarnya bercita-cita punya Negara sendiri, ketiga hal tersebut menggenapi keyakinan tentang konsep Jawanisasi yang dipaksakan kepada etnis lain. Dan sejumlah ormas yang menampik asas tunggal, adalah bentuk penolakan terhadap kegemilangan karya founding father NKRI.
Apapun, bendera Aceh Merdeka sudah berkibar. Mudah-mudahan kita tidak kaget kalau nanti berkibar pula bendera Papua Merdeka, Republik Maluku Selatan, Negara Islam Indonesia, dan siapa tahu bendera Soviet Madiun? Semoga kita juga tidak terkejut jika kelak hantu Cho gentayangan menembaki siapa saja, termasuk dirinya sendiri. Bukankah Cho sudah pernah muncul di Cebongan? ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H