Mohon tunggu...
Harry Tjahjono
Harry Tjahjono Mohon Tunggu... lainnya -

penulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Komunitas Punkers dan Generasi Street Punk Indonesia

28 Maret 2013   01:53 Diperbarui: 4 April 2017   18:27 4486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Kami manusia yang memilih sudut pandang dan cara berpikir sendiri dalam menyikapi hidup. Kami tidak keberatan dianggap aneh oleh masyarakat dan pemerintah. Mungkin kami memang aneh, tapi kami bukan kriminal. Mungkin karena kami dianggap bukan bagian dari masyarakat, maka kehadiran kami meresahkan dan menimbulkan kecurigaan yang bukan-bukan. Padahal, komunitas punkers itu bukan kelompok kriminal,” kata Mike, salah satu tokoh komunitas punkers yang bermarkas di Lenteng Agung, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Ucapan Mike itu diiyakan anggukan punkers yang akrab disebut Bob.

Saya bertemu Mike dan Bob di studio Metro TV, Sabtu pagi, 23 Maret 2013.  Kedua pentolan punkers itu adalah bintang tamu acara Sentilan-Sentilun (Slamet Rahardjo-Butet Kartarejasa) yang ditayangkan Metro TV setiap Senin malam. Sejak diminta Butet ikutan nulis naskahnya bersama Agus Noor, supaya secara emosional lebih terlibat, sesekali saya perlukan untuk nonton syutingnya. Dan di ruang smooking area, saat menunggu syuting dimulai, saya berkenalan dengan Mike dan Bob.

Usia kedua tokoh punkers itu saya taksir sekitar 27-30 an tahun. Dalam balutan fashion punk yang didominasi denim belel bersulam rantai besi dan puluhan duri baja putih plus aksesori gelang kulit berduri besi serta  kalung dan giwang perak, sekujur tubuh dan sebagian kulit kepala dirajah tattoo, rambut gaya Mohawk dipadu style gimbalis Bob Marley, cukup membuat orang enggan masuk ruang smooking area. Maka kami bertiga bisa leluasa ngobrol. Barangkali karena melihat tattoo bunga di tangan kiri saya, mereka cepat akrab dan tampak nyaman ngobrol dengan saya.

Tanpa bermaksud mengambil hati mereka, saya cerita pernah membaca berita tentang konser amal yang digelar komunitas “Street Punk” Taman Budaya Banda Aceh pada Sabtu, 10 Desember 2011. Rencananya, dana hasil konser amal itu akan disumbangkan ke sebuah panti asuhan. Tapi, konser amal “Street Punk” itu berubah jadi razia anak punk. Tercatat 65 punkers yang datang dari penjuru provinsi Sumatera dan Jawa ditangkap, digunduli, direndam di kolam Sekolah Polisi Negara Seulawah, Aceh Besar, tempat mereka dibina selama 10 hari.

“Perlakuan terhadap punkers di Aceh itu, menurut saya selain konyol juga melecehkan hak asasi manusia. Di beberapa kota lain, juga di Jakarta, anak-anak punk yang ngamen di perempatan jalan juga sering dirazia. Meksipun sudah banyak yang ditangkap dan digunduli, anehnya anak-anak punk yang usianya masih belasan tahun itu terus bermunculan tak ada habisnya,” kata saya.

Bob yang cuek hanya angkat bahu, sedangkan Mike dengan antusias (dan terkesan sudah lama hidup dalam kemarahan) merespon ucapan saya. “Waktu peristiwa itu terjadi, saya dan kawan-kawan punkers lain juga melakukan protes keras! Tapi, karena tidak punya akses ke media, protes kami tidak terdengar atau memang tidak ada yang mau mendengar. Tindakan pemerintah yang konyol, represif dan arogan seperti itulah yang membuat kami memilih jalan hidup punkers. Dengan menangkap dan menggunduli punkers, polisi mengira apa yang mereka anggap sebagai masalah itu sudah diselesaikan. Padahal kan tidak? Saya sendiri tidak tahu kenapa sekarang ini semakin banyak anak-anak punk umur belasan tahun yang disebut street punk ngamen di jalanan? Tapi apa pemerintah juga ingin tahu dari mana mereka datang, kenapa mereka jadi street punk? Apa karena miskin, broken-home atau apa? Apa pemerintah ingin tahu semuanya itu? Menurut saya tidak! Pemerintah hanya mengira tugasnya adalah membersihkan perempatan jalan dari pengamen, pengemis, pedagang asongan, dan sekarang ditambah street punk! Buat saya, hal-hal seperti itu harus ditolak dan dilawan!”

“Penolakan dan perlawanan itu salah satunya dengan berdandan punk?” tanya saya.

“Memang kenapa kalau berdandan punk? Karena produk budaya barat? Tidak sesuai dengan budaya leluhur? Karena dianggap aneh? Pertanyaan saya, memelihara jenggot dan memakai jubah itu produk budaya Indonesia apa bukan? Kenapa tidak dianggap aneh? Menurut Anda dandanan punk itu aneh?” tanya Mike berapi-api.

Saya menggeleng, “Enggaklah. Menurut saya, orang Papua dan Dayak Kalimantan sudah nge-punk jauh sebelum generasi pertama punk lahir.”

Bob dan Mike tertawa. Sayang, obrolan berakhir karena syuting akan dimulai. Kami bertukar nomor PIN dan berjanji kapan-kapan bertemu lagi. Sebelum ke luar ruang smooking area, saya usul, “Saya pikir memasukkan batik sebagai elemen fashion punk perlu dipertimbangkan. Dengan memasukkan unsur batik dalam dandanan punk, saya rasa akan menjadi identitas khas punkers Indonesia.”

Usul yang naïf, memang. Tapi, apa salahnya punk pakai batik?

Ngobrol dengan Mike mengingatkan saya pada kaum hippies yang pada tahun 1960-an mendeklarasikan cinta damai sebagai ideologi dan bahkan “agama” generasi bunga. Hingga tahun 70-an, “agama” generasi bunga yang diimpor Indonesia itu dianut kebanyakan anak muda (termasuk saya) hingga di penjuru Nusantara—meskipun hanya sekadar atributnya saja, misalnya berbusana kembang-kembang, tattoo bunga dan fly to the moon menumpang asap ganja (morfin dan LSD bagi anak orang kaya). Berbeda dengan rezim Orde Lama yang pernah melarang musik rock n roll, lagu Beatles, rambut gondrong dan rok mini yang oleh Bung Karno disebut produk Nekolim (neokolonialisme dan neoimperialisme), rezim Orde Baru terkesan membiarkan “agama” generasi bunga berkembang di Indonesia.

Kelak saya menduga bahwa salah satu alasan membiarkan “agama” generasi bunga berkembang di Indonesia saat itu adalah untuk membuktikan kepada dunia internasional (barat) bahwa Indonesia tidak lagi diperintah rezim otoriter dan demokrasi sudah ditegakkan. Maklum, beberapa tahun lalu, ketika dipercaya menulis skenario film Koes Bersaudara (sayang sampai sekarang belum juga diproduksi), saya mendapat cerita dan catatan menarik bahwa: sebelum ditangkap dan dipenjara, ada konspirasi tingkat tinggi yang berencana menculik dan menyelundupkan Koes Bersaudara ke Malaysia untuk kemudian dijadikan “grup band pelarian” di kancah internasional. Tujuannya tak lain untuk mendiskreditkan “kediktatoran” Bung Karno.

Menyaksikan street punk usia belasan tahun bermunculan di perempatan jalan penjuru Indonesia, bagi kita barangkali sebuah pemandangan biasa saja. Sampai akhirnya mereka muncul di halaman rumah kita, di kamar tidur anak kita, mengacung-acungkan pisau atau entah apa sambil menyanyikan lagu atau berkata entah apa--dan kita baru menyadari bahwa kita tak paham bahasa mereka, tak pernah sekalipun berusaha berkomunikasi dengan mereka.

Kita hanya sibuk mencari: di mana anakku, di mana anakku! Tabrakan! BMW-nya nabrak Luxio! Dua orang tewas! Tapi dia selamat! Syukurlah! Dia divonis hukuman percobaan enam bulan! Iyalah. Dia harus melanjutkan sekolah di London. Di sini banyak street punk.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun