Dalam kurun waktu 2003 sampai 2012, pimpinan KPK sudah 5 (lima) kali ganti Ketua, yakni: Taufiequerachman Ruki (2003-2007), Antasari Azhar (2007-2009), Tumpak Hatorangan Panggabean (2009-2010), Busyro Muqqodas (2010-2011), dan Abraham Samad (2011-2015). Alhasil, sejak didirikan pada tahun 2003, KPK selalu dipimpin Ketua dan 4 (empat) Wakil Ketua yang seluruhnya adalah laki-laki.
Padahal, perempuan yang mendaftar jadi calon pimpinan KPK jumlahnya lumayan banyak. Rekam jejak dan kompetensinya juga tidak di bawah calon laki-laki. Tahun 2010, misalnya, tercatat 16 perempuan mendaftar jadi calon pimpinan KPK. Tahun 2011, dari 127 pendaftar, satu-satunya perempuan yang berhasil lolos seleksi 10 besar calon pimpinan KPK adalah Egi Sutjiati, 41 tahun, auditor lulusan STAN (1985)
, S2 Master of Development Administration The Australian National University (2003). Tahun 2012, tercatat nama Prof. Dr. Anna Erliyana, SH., MH, 53 tahun
, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Entah kenapa, para perempuan calon pemimpin KPK itu akhirnya tersingkir sebelum di-fit and proper test oleh DPR.
Di sisi lain, dari tahun ke tahun perempuan yang jadi tersangka (pelaku) tindak korupsi jumlahnya semakin meningkat. Tahun 2008, KPK menangkap Arthalita Suryani yang menyuap Jaksa Tri Gunawan. Tahun 2010, mantan Direktur Bina Pelayanan Medik Kementerian Kesehatan Ratna Dewi Umar ditahan KPK. Tahun 2011, KPK menangkap Mindo Rosalina Manulang, Direksi PT Alam Jaya Papua Dharmawati dan Nunun Nurbaeti. Tahun 2012, KPK menahan Wa Ode Nurhayati, Angelina Sondakh, Miranda Gultom, Hakim Tipikor Semarang Kartini, istri Nazarudin Neneng Sri Wahyuni dan Siti Hartati Murdaya.
Ah, apa pentingnya membandingkan perempuan yang gagal terpilih jadi pemimpin KPK dengan yang berhasil ditangkap dan diadili KPK? Takdir setiap perempuan adalah menjadi Ibu. Dan tanggal 22 Desember sudah lewat. Hari Ibu sudah berlalu.
Makam Ibu dan Kebaikan Tuhan
Setiap bulan Desember, kalau pas punya uang lebih, saya pasti pulang kampung ke Madiun untuk ziarah ke makam Ibu. Bagi saya, nyekar Ibu di bulan Desember merupakan “ritual” anak kelas satu SD yang mengira Tuhan hanya hadir di meja makan—pada saat Ibu mewajibkan saya untuk berdoa sebelum melahap sarapan, makan siang dan makan malam. Senang juga pernah mengira Tuhan terkadang duduk di tepi kasur, tentu saja kalau saya tak lupa berdoa sebelum tidur. Lagipula menziarahi makam Ibu selalu mengingatkan saya pada kebaikan Tuhan yang pernah mengabulkan doa saya agar tidak dihukum Bu Guru karena lalai mengerjakan PR.
Dasar rejeki, awal Desember lalu, sobat lama yang aktif di Kemenristek minta tolong saya untuk menghubungi teman-teman wartawan di Madiun. Singkat kata, tanggal 11 Desember semua teman pers cetak dan tv lokal bersedia meliput kehadiran Menristek Gusti Mohammad Hatta meresmikan pameran mobil dan becak listrik yang digelar di pendapa Kabupaten Magetan, sekitar 25 KM dari Madiun.
Tanggal 10 Desember siang, saya sudah sampai di Madiun dan mendapat kabar kalau besok Presiden SBY dan Ibu Ani serta sejumlah menteri juga hadir di acara Menristek. Tapi, sebelum ke Magetan, Presiden dan Ibu Negara beserta rombongan terlebih dulu ke Mlilir, Ponorogo, untuk mengawali panen raya.
Saya hanya bisa pasrah membayangkan liputan acara Menristek akan gagal total karena teman-teman wartawan semuanya ikut rombongan Presiden. Esoknya, saya membuntuti teman-teman pers yang meliput Presiden dan Ibu Negara melakukan panen raya. Prosedur protokoler yang ketat membuat saya hanya bisa nonton dari jauh, di warung kopi seorang Nenek yang cerita bahwa sebelum Presiden datang, polisi menangkap sejumlah mahasiswa yang tadi malam berhasil menyusup dan pagi itu akan menggelar demo.
Dari jauh, tampak Presiden dan Ibu Negara mengacungkan segenggam padi disambut tepuk tangan hadirin. Nenek pemilik warung yang berdiri di samping saya juga ikut tepuk tangan. Tapi raut wajahnya tetap selusuh kebaya usang yang terlalu longgar untuk badannya yang kurus.
“Kok mboten tumut panen, Mbah? (Kok nggak ikut panen, Nek?)”
“Lha wong mboten gadah sawah sing ajeng dipanen napa? (Lha nggak punya sawah yang mau dipanen apa?)” kata Nenek datar, matanya memandang kegembiraan para petani yang salaman dan foto-foto dan….
“Lha wong penggede-penggede nika mboten melu nandur kok malah ndisiki manen nggih. Mbah. (Lha para pejabat itu nggak ikut menanam kok malah panen duluan ya, Nek).”
Nenek menoleh kaget, bola matanya membelalak seperti marah, tapi sedetik kemudian Nenek terpingkal-pingkal sambil menyumpal mulutnya dengan kedua tangannya. Menyaksikan Nenek tertawa sampai bercucuran airmata, mendadak muncul entah ide atau keinginan untuk menulis sesuatu yang pantas untuk merayakan Hari Ibu.
Goplo dan Tuhan yang Baik-Baik Saja
Syukurlah, liputan acara Menristek berlangsung sesuai rencana. Setelah berterima kasih pada teman-teman wartawan, saya memanjakan diri naik becak berkeliling kota. Dalam perjalanan menuju rumah sobat saya semasa kecil, gagasan menulis perempuan-perempuan yang saya sebut di awal tulisan ini mulai tersusun dengan sendirinya.
Tapi, pendapat saya tentang Nunun Nurbaeti, pastilah klise dan subyektif. Tahun 2007, sewaktu Adang Dorodjatun jadi Cagub DKI, saya pernah mengajak Henidar Amroe mewawancarai mantan Wakapolri itu. Waktu itu, Henidar Amroe “magang” jadi “reporter tamu” tabloid deFacto yang saya terbitkan bersama Butet Kartaredjasa dan Rano Karno. Kami diterima Pak Adang dan Ibu Nunun di café-restonya yang terletak di Jalan Gunawarman, Kebayoran Baru.
Pak Adang dengan jujur membenarkan bahwa senyumnya yang khas itu memang berkat dilatih Ipang Wahid, konsultan politik sekaligus eksekutor iklan dan perangkat kampanye lainnya.
Akan halnya Ibu Nunun adalah nyonya rumah yang ramah, berpenampilan modis tapi tak canggung untuk repot menuangkan teh, menyodorkan toples kue…
Klise dan subyektif, bukan?
Becak yang saya tumpangi meluncur ke rumah sobat masa kecil yang terletak agak jauh di pinggiran kota. Meskipun jalannya menanjak, tukang becak setengah baya itu mengayuh pedal tanpa mengerahkan tenaga. Napasnya tidak terengah bahkan bibirnya menjepit rokok klobot yang sesekali mengepulkan asap berbau harum perpaduan kulit jagung dan cengkeh.
“Bapak pernah dengar nama Mino Rosalinda Manulang?”
Tukang becak itu menggeleng.
“Kalau Wa Ode Nurhayati?”
Menggeleng lagi.
“Kalau Angelina Sondakh?”
“Pernaaaah…,” dan rokok klobotnya jatuh entah ke mana.
“Siapa dia, cobaaa…”
“Siapa ya? Pokoknya saya sering lihat di teve. Huaaayuuu tenaaan hahaha…”
Belum sempat menyebut nama Miranda Gultom dan Neneng Sri Wahyuni, becak sudah sampai di depan rumah sobat masa kecil saya. Setelah bayar becak, saya nyelonong masuk sambil teriak, “Kulanuwuuuun…”
Goplo, nama sobat masa kecil saya, belum (tidak) menikah dan setelah Ibunya wafat, hidup sendirian. Sejak kecil Goplo sudah aneh, semakin tua bertambah ajaib. Kalau ada yang tanya, “Agama kamu itu apa sih, Plo?” jawabnya pasti, “Lha agamamu apa?” Kalau dijawab, “Agamaku Islam.” Maka Goplo balik menjawab “Aku Kristen.” Kalau yang nanya mengaku beragama Kristen, Goplo akan bilang agamanya Islam. Padahal, sejak lulus SLA setahu saya Goplo serius belajar agama Budha dan rajin meditasi.
“Kamu pernah dengar nama Siti Hartati Murdaya?” tanya saya.
“Ketua Walubi. Konglomerat. Duitnya banyak, amalnya banyak, kebaikannya juga banyak.”jawab Goplo.
“Tapi sekarang ditahan KPK…”
Goplo mengisap rokoknya kuat-kuat.
“Apa karena karma?”
“Karma…”
“Kan amalnya banyak, kebaikannya banyak?”
“Trus kenapa? Dengan ditahan KPK, maka dia akan merasakan apa yang mungkin belum pernah ia rasakan. Kalau selama ini ia selalu memberi, maka sekarang ia bisa meminta—walaupun yang yang ia minta hanya doa dan dukungan. Kalau selama ini ia tidak bisa merasakan indahnya kebebadan, setelah ditahan ia tentu akan bahagia hanya karena membayangkan kebebasan yang pernah dan akan kembali menjadi miliknya.”
“Tapi dia juga didemo dan….”
“Daripada membahas yang sudah terjadi, lebih baik menunggu yang akan terjadi.”
“Memangnya yang akan terjadi apa?”
“Pencerahan. Sidarta Gautama disangka gila dan hampir mati kelaparan karena meninggalkan tahta dan kerajaan yang bisa memberinya kemewahan dan kekuasaan, sebelum akhirnya mendapat pencerahan dan menjadi Sang Buddha….”
Setelah itu, Goplo tak lagi menjawab pertanyaan saya tentang Hartati Murdaya
Esoknya, saya kembali ke Jakarta.
Tapi, siang tadi saya menelepon Goplo. “Saya sekeluarga dikirimi tiket kereta Jakarta Madiun PP sama kakak saya. Besok pagi saya sudah sampai di Madiun dan merayakan Natal di rumah kakak.”
“Lho…, kamu kan Islam?” tanya Goplo.
“Ya. Tapi kakak saya Katholik.”
“Oya. Tuhan memang baik-baik saja,” kata Goplo.
Tut tut tut…..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H