Minggu pukul 00.00 WIB dini hari nanti, kurang dari sepuluh menit saat artikel ini tersaji, enam terpidana mati narkoba secara serentak dieksekusi. Dan esok hari, sembari minum kopi atau sambil sarapan bersama keluarga, kita bisa membaca koran atau nonton tv yang memberitakan pernyataan petinggi kejaksaan atau aktivis anti-narkoba bahwa “dini hari tadi hukum sudah ditegakkan” dan seterusnya.
Menurut Jaksa Agung Prasetyo, eksekusi terhadap enam terpidana mati kasus narkoba tersebut merupakan tahap pertama. Sebab, Kejaksaan Agung berencana mengeksekusi terpidana mati narkoba lain yang sudah memiliki status hukum tetap. Eksekusi diharapkan menjadi pesan yang keras bagi sindikat narkoba bahwa Indonesia tidak main-main dengan narkoba. “Kami mohon maaf bagi yang tak sepaham dengan hal ini. Namun, hukum harus tetap ditegakkan,” katanya (Kompas, 16 Januari 2015).
Sejak berabad-abad silam, eksekusi mati memang tidak hanya untuk menghukum tapi juga bertujuan menakuti orang agar tidak melakukan kejahatan serupa.
Bahkan agar menjadi contoh yang benar-benar menimbulkan rasa takut, maka di masa silam eksekusi dilaksanakan di depan umum. Sebab, “Diperlukan pemandangan mengerikan agar rakyat bisa dikuasai,” tegas Tuaut de le Bouvere, yang pada tahun 1791 dikenal sebagai politisi Prancis pro eksekusi mati di depan umum.
Sayangnya, meskipun puluhan atau mungkin ratusan nyawa terpidana mati sudah dieksekusi, kejahatan masih saja berulang. Dengan demikian dalih menimbulkan rasa takut tidak terbukti. Di sisi lain, sejumlah peradilan sesat yang terlanjur mengeksekusi mati orang tak bersalah dan menyisakan tragedi kemanusiaan yang memilukan hati, membuat sejumlah negara menghapus hukuman mati. Toh, di Indonesia, beberapa menit lagi nanti enam terpidana tetap dieksekusi mati.
Di antara enam terpidana mati tersebut terdapat Rani Andriani alias Melisa Aprilia. Perempuan berusia 38 tahun asal Cianjur itu tertangkap di bandara Soekarno-Hatta saat menyelundupkan 3,5 kilogram heroin. Di pengadilan, Rani terbukti terlibat jaringan peredaran narkoba yang dikendalikan dua sepupunya, Meirika Franola alias Ola dan Deni Setia Marhawan. Maka, pada 22 Agustus 2000, Rani, Ola dan Deni divonis mati oleh Pengadilan Tangerang. tapi, pada tahun 2012, Ola dan Deni mendapat grasi dari Presiden SBY sehingga hukuman mereka menjadi seumur hidup.
Kita mungkin, dengan sedih, bertanya: mengapa kedua orang yang melibatkan Rani dalam peredaran narkoba justru mendapat grasi sementara grasi yang diajukan Rani ditolak Presiden Jokowi?
Jawabannya bisa sangat sederhana: akhir tahun lalu Presiden Jokowi mengatakan pihaknya tidak akan memberikan pengampunan kepada satu pun terpidana mati yang terjerat kasus narkoba jika mengajukan grasi. Alasannya, Indonesia tengah berada dalam kondisi darurat narkoba (Kompas, 16 Januari 2015).
Kita mungkin, dengan menyesal, memikirkan suatu kemungkinan seandainya presiden RI bukan Jokowi dan Indonesia tidak sedang darurat narkoba, maka Rani tentu mendapat keadilan yang lebih baik dari Ola dan Deni. Tapi, kita tahu, setelah eksekusi dilaksanakan, semua kemungkinan hanyalah percuma….
Dan pada akhirnya,“Pelajaran dari tiang gantungan yang kita terima adalah: hidup manusia tidak lagi dianggap mulia ketika membunuhnya menjadi lebih berharga,“ kata Francart, yang dikutip Albert Camus dalam esai berjudul Merenungkan Gilotin. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H