Pada tanggal 3 April 2009, Dato' Sri Haji Mohammad Najib terpilih menjadi Perdana Menteri (PM) dari negeri jiran Malaysia. Pada akhir masa pemerintahannya di tahun 2018, pemerintah Malaysia melakukan penggrebekan ke beberapa rumah milik Najib dengan tuduhan korupsi.
Apa yang mereka temukan?
Harta karun senilai 114 juta Ringgit atau lebih dari 400 milyar Rupiah termasuk 1.400 kalung, 567 tas tangan, 423 jam tangan, 2.200 cincin, 1.600 bros, dan 14 tiara.
Bukan hanya itu, MACC (KPK versi Malaysia) menemukan uang sebesar 2.6 milyar Ringgit atau hampir 10 triliun Rupiah di dalam akun bank milik Najib.
Ini semua dijadikan bukti untuk akhirnya menahan bekas PM Malaysia yang belum lama ini berhenti memerintah. Memang betul proses investigasi masih berjalan dan belum ada keputusan dari pengadilan tapi sudah banyak orang di Malaysia yakin bahwa Najib bukanlah seorang pemimpin yang bersih.
Lebih parahnya, Najib diduga menjual aset negara ke Cina untuk menutupi tindakan korupsinya melalui lembaga investasi Malaysia 1MDB.
Sebuah studi dari Yale memaparkan bahwa Najib melepas klaim Malaysia atas Laut Cina Selatan serta memberikan kontrak kereta api kecepatan tinggi ke Cina untuk menutupi dana 1MDB yang raib secara misterius.
Saya sempat berbincang dengan seorang supir Grab di Kuala Lumpur dan dia berkelakar bahwa apabila Najib diberikan satu periode lagi, KLCC yang merupakan ikon negara pun akan dijual untuk negara lain.
Supir Grab tersebut juga berpendapat bahwa hidup di Malaysia menjadi lebih sulit setelah 2 periode pemerintahan Najib. Inilah sebabnya rakyat lebih memilih Tun M yang selayaknya sudah beristirahat untuk kembali mengambil alih.
Najib dinilai sebagai pemimpin yang dalam hatinya jauh lebih mementingkan kepentingan pribadi dan tidak memiliki nurani untuk negara. Di sini letak inti permasalahannya.
Indonesia akan memilih pemimpin yang baru di tahun 2019 sehingga sekarang adalah saat yang sangat tepat untuk belajar dari pengalaman Malaysia. Pemimpin seperti apa yang sebaiknya kita pilih bagi negara kita?