Belakangan, kata financial inclusion sering didengungkan, terutama oleh para praktisi ekonomi dan keuangan. Tak hanya di Indonesia, bahkan banyak negara di dunia semakin mendengungkan hal ini. Di Indonesia, Bank Indonesia melalui program-programnya seperti ISEF (Indonesia Sharia Economic Festival), Islamic Financial Services Board (IFSB), dan program tahunan bersama Islamic Development Bank, kerap menyuarakan financial inclusion.
Secara penjabaran, makna financial inclusion cukup luas. Namun Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara mencoba menjelaskan secara komperhensif tentang financial inclusion. Dijelaskannya bahwa pada sebelum 1998, suntikan modal dari perbankan kurang bersahabat bagi pelaku usaha skala kecil dan menengah. Dengan kata lain, perbankan hanya menggelontorkan akses finansial secara besar yang tentunya hanya bisa dimanfaatkan pelaku usaha besar di atas kelas menengah.
Namun apa yang terjadi, ternyata pada tahun 1998 terjadi krisis moneter atau yang kerap disebut krismon. Saat itu, para pelaku usaha besar satu per satu pailit lantaran bahan baku impor meningkat secara drastis, biaya cicilan utang meningkat akibat dari nilai tukar rupiah melemah tajam terhadap dolar AS. Kondisi itu berdampak pada gagal bayarnya para pelaku usaha kelas kakap tadi.
Alhasil, pinjaman kelas berat dari perbankan tersendat pengembaliannya. Banyak bank yang bangkrut karena kredit macet. Bank yang masih bisa menyelamatkan diri, memilih merger atau bergabung. Kondisi pun berubah menjadi krisis ekonomi, sehingga Indonesia mengalami bencana perekonomian hebat.
Meski begitu, selalu saja ada pelangi di balik mendung, ada hikmah di balik bencana. Indonesia ternyata memiliki penopang ekonomi yang cukup kokoh di tengah badai perekonomian, yaitu usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Beberapa alasan mengapa UMKM dapat bertahan di tengah krisis moneter 1998, yaitu tidak memiliki utang luar negeri, tidak banyak utang ke perbankan karena mereka dianggap unbankable, menggunakan input lokal, dan berorientasi ekspor.
Sehingga secara umum, UMKM berputar lebih cepat dan terkendali karena skalanya yang tidak terlampau besar dan kompleks. Selanjutnya, jelas Mirza Adityaswara, perbankan mulai memperbaiki sistem penyaluran permodalan mereka dengan gaya financial inclusion. Yakni mengenalkan akses keuangan ke masyarakat hingga tingkat terbawah. Masyarakat kecil pun mulai mendapat kemudahan untuk memperoleh bantuan permodalan usaha skala mikro.
Personal Branding
Mereka juga mendapat pendampingan, mulai dari peningkatan kapasitas sumber daya manusia, pemanfaatan peluang usaha, hingga dalam hal penyusunan laporan pertanggungjawaban pinjaman. Alhasil, terciptalah masyarakat-masyarakat kecil produktif. Banyak tercipta produk-produk dengan standar lebih dari sekedar layak pakai atau produk berkualitas hasil karya anak bangsa.
Namun masalahnya, menurut Kepala Badan Pemberdayaan Masyarakat dan Perempuan, dan Keluarga Berencana Provinsi DKI Jakarta Dien Emawati, adalah dari sisi pemasaran atau marketing. Karena marketing sangat penting agar produk hasil pemberdayaan masyarakat dapat diterima secara luas di kandang sendiri. Harus diakui bahwa Indonesia saat ini cukup jauh tertinggal dalam hal marketing produk hasil karya sendiri.
Saat ini, yang mungkin sangat dibutuhkan para pelaku usaha pribumi adalah personal branding. Mungkin bisa dibilang, baru batik saja yang pede di-branding internasional. Padahal seperti diketahui, Indonesia memiliki SNI (Standar Nasional Indonesia) yang lebih dari sekedar memadai bagi para konsumennya. Hendaklah Indonesia menggencarkan personal branding, karena pada hakikatnya, Indonesia telah mampu menciptakan produk-produk yang berkualitas tinggi, dari tangan-tangan terampil dan berbakat.
Dengan begitu, roda perekonomian yang berputar agak kesat, bisa terlumasi dan berputar lebih cepat. Financial inclusion pun berdampak lebih menyeluruh dan mampu membangkitkan semangat berwirausaha hingga ke seluruh tingkatan masyarakat. Mantan Wapres RI Mohammad Hatta mengungkapkan, idealnya, 2% dari total penduduk suatu neÂgara adalah pengusaha. Tentunya pengusaha yang menengah ke atas. Namun, untuk bisa mencapai ideal itu, harus dimulai dari hal kecil. Pintunya, adalah branding UMKM.