Kesan yang sering muncul mengenai sosialita di masyarakat umum adalah seseorang yang terlihat suka belanja bareng, kongkow, hura-hura dengan teman-temannya, lalu getol posting semua kegiatan di medsos . Tidak juga salah kesan tersebut, tapi tidak juga seperti itu. Sosialita atau socialite pada hakikatnya adalah aktivitas keterlibatan seseorang dalam bermasyarakat. Pembentuknya adalah kepribadian atau personalisasi.
Memang, pada akhirnya sosialitas seseorang tidak akan tampak bila tidak digambarkan ke masyarakat. Selanjutnya mari kita kupas sedikit tentang kegiatan personalisasi. Dimulai dengan personal publicity.
Personal publicity bukanlah personal branding, namun merupakan bagian darinya. Personal publicity adalah bagian dari personal branding. Karena personal branding ialah menciptakan citra diri di hadapan publik.
Dan apa itu citra? Ada baiknya supaya mudah dipahami, kita ibaratkan sebuah pesawat yang sedang terbang tinggi sekitar 1.000 kaki di atas permukaan laut. Kemudian sang pilot melihat ke bawah, dimana warna lautnya ada yang biru tua dan ada biru muda. Nah, itulah makna dari citra. Laut yang dalam ditandai dengan pencitraan warna biru tua dan laut tidak dalam, dicitrakan dengan warna biru muda. Sehingga pencitraan pada hakikatnya adalah membuat warna diri sendiri.
Bila kita adalah orang ceria, maka citra diri kita tidak boleh berwarna gelap seperti warna merah darah, hitam, coklat tua, dan sejenisnya. Harus yang cerah yaitu pink, biru awan, hijau muda, dan yang terang lainnya. Berarti, dari konsep warna tersebut, maka kegiatan kita tidak boleh tampak bersedih di masyarakat. Harus yang bersenang-senang, penuh canda tawa, dan meriah.
Tapi apa mungkin begitu? Namanya manusia bukankah kesehariannya akan ada senang, sedih, marah, dan canda-tawa. Betul, tapi sembunyikanlah semua yang mengandung kesedihan, amarah, suram, dan sebagainya kemudian munculkanlah sesering mungkin yang sebaliknya. Sehingga secara permukaan, kita akan memiliki citra diri cerah ceria meskipun sedang dirundung kesedihan.
Itu baru di permukaan. Di dalam diri kita, yakni sikap, tutur kata, dan karakter, pun harus sesuai dengan yang di permukaan. Jangan berlawanan. Dari luar terlihat ceria tapi ketika diajak bicara, malah banyak diam, pasif, jarang tertawa. Itu namanya gagal pencitraan diri.
Maka kembali pada personal branding, yaitu kita berupaya membuat gambaran untuk publik atas apa yang paling mendominasi di diri kita sehari-harinya. Upaya itu diwujudkan dengan cara memanajemen aktivitas diri, sikap, dan semua yang menghubungkan kita dengan masyarakat. Personal branding membutuhkan 'skenario' untuk mengisi gambaran diri.
Lalu bagaimana dengan personal publicity? Keduanya, branding dan publicity, sama-sama membutuhkan gambaran diri. Namun tanpa dimulai dari personal publicity, maka kita akan kerepotan mengatur kegiatan diri sehingga gagal membentuk sebuah citra diri (personal branding). Gambarkan diri kita dahulu sebelum membuat publisitasnya. Caranyam lntrospeksi diri, banyak diskusi dengan teman, kolega, bahkan kompetitor diri kita, maka akan tampak gambaran diri kita dari lawan bicara kita. Barulah kita bikin kegiatan yang makin memperkuat gambaran diri kita sendiri.
Personal publicity adalah ibarat sebuah arsip kehidupan yang dimuat dari berbagai sisi. Ketika kita sedang berlibur, ingin liburan tersebut menjadi sebuah cerita yang indah, maka jadikan liburan itu sebuah dokumentasi hidup yang lengkap. Lalu ketika kita sedang beraktivitas, membuat acara atau hajatan, sedang terlibat di sebuah peristiwa, dan sebagainya, abadikan semua itu menjadi sebuah momen penting. Jadikan kita bintang film di dalamnya, walau bukan pemain utama tak apa.
Dan pada akhirnya personal publicity dan personal branding, sama-sama membutuhkan wadah yang bisa dijadikan sebagai wahana menaruh gambaran. Jaman serba teknologi saat ini, banyak wadah yang bisa dipakai. Yang paling sering digunakan adalah media sosial (Instagram, Facebook, Twitter, WhatsApp, dan lainnya), kemudian media simpan visual YouTube. Dan akhirnya, yang mampu mewadahi itu semua adalah website.