Patutlah diapresiasi, daerah-daerah di Indonesia yang saat ini sedang berjuang mengejar ketertinggalan mereka. Sejak era reformasi hingga saat ini, di bawah kepemimpinan generasi muda dari Gen X dan Gen Y, daerah-daerah di Indonesia berupaya mengenjot kemajuan daerahnya agar tidak timpang dengan Pulau Jawa. Cukup sudah mereka selalu menjadi nomor sekian dari keistimewaan Pulau Jawa. Mereka juga ingin jadi istimewa se-istimewa Jawa.
Out of topic sejenak, buat yang mengecap pendidikan di rentang tahun 1980-2000 -tepatnya ketika Repelita V (Rencana Pembangunan Lima Tahun ke-5) ke atas, yakni sekitaran 1985 dan seterusnya, kerap terdengar istilah Jawasentris. Apalagi mereka yang hidup di daerah luar Jawa, ada kesan seolah Pulau Jawa adalah leader dari pulau-pulau lainnya. Terlebih bila ada rombongan yang berkunjung atau sidak dari Jakarta, atau Bandung, rasanya seperti ada yang spesial bertandang.
Bahkan di pertengahan 1990 khusus di kalangan remaja cowok, sempat ada stigma, "Kalau mau jalan-jalan dan cepet dapet gebetan, jalannya pake mobil plat B deh bro." Sebegitu spesialnya kawasan Ibukota dan sekitarnya.
Kembali ke bahasan utama, secara umum, Pulau Jawa, tak dipungkiri merupakan wilayah favorit, terutama Ibukota dan Jawa Barat. Secara ekonomi, dengan pangsa 58%, Pulau Jawa memang merupakan kawasan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Artinya, bila tahun lalu pertumbuhan ekonomi negara ini adalah 5% dan kemudian tahun ini jadi 5,5% maka 58% dari 0,5% pergerakan pertumbuhan ekonomi Indonesia disebabkan oleh Pulau Jawa.
Ketimpangan
Tapi mari kita intip lebih dalam lagi, diantara hingar bingar kehidupan di Jawa, khususnya Jawa Barat, ternyata ketimpangan ekonomi di kawasan ini cukup mengherankan. Ketimpangan pendapatan di Jawa Barat, antara utara-selatan boleh dikata cukup tinggi. Pertumbuhan ekonomi daerah di Jawa bagian selatan cenderung lebih rendah. Bahkan 71% PDRB Jawa Barat (Jabar), disumbang oleh kabupaten dan kota di utara Jabar. Selain itu, pendapatan per kapita tertinggi berada di bagian utara pula.
Secara umum di Jawa, di wilayah Jabar, ada Subang yang pertumbuhan ekonominya terendah di antara wilayah lainnya. Di Jateng, ada Cilacap, dan di Jatim ada Bangkalan. Kesemua adalah kawasan di selatan Jawa.
Penyebab ketimpangan tersebut rupanya karena masalah sebaran. Mereka yang berada di utara, karena relatif dekat dengan pucuk perniagaan yang utamanya didukung oleh konektifitas: pelabuhan dan kereta api. Namun sayang, konektifitas tersebut sepertinya tidak lancar hingga ke selatan. Alhasil, tingkat pengangguran di kawasan selatan tinggi.
Sehingga pintu upaya perbaikan ketimpangan di Jawa adalah dari infrastruktur. Ini mungkin penyebab gencarnya pemerintah menggenjot pembangunan. Mereka bahkan hingga membuat kebijakan yang agresif dari sisi penerimaan pajak hingga membuka perluasan investasi asing, tak lain guna pembangunan sejumlah infrastruktur. Di Jawa Barat dan Banten, pembangunan infrastruktur di lini konektivitas diharapkan dapat menggawangi terdorong sumber pertumbuhan ekonomi baru.
Karena seiring perbaikan infrastruktur konektifitas, pemerintah berharap akan ada perbaikan di produktivitas. Tak dipungkiri, produktivitas tinggi butuh mobilitas tinggi. Sehingga bila produksi lancar, maka terjadilah kolaborasi utara-selatan. Ini yang kemudian memperbesar peluang kreatifitas, dimana kolaborasi memunculkan ide baru, kreasi baru, dan terciptalah sumber pertumbuhan ekonomi baru di Jawa.
Diharapkan, hasil dari upaya pembangunan strategis tersebut akan meningkatkan keterkaitan dengan industri lain yang membuat nilai tambah lebih tinggi. Penyerapan tenaga kerja menjadi semakin besar dan sesuai dengan harapan pemerintah, akan menggenjot ekonomi kreatif, IKM (industri kecil dan menengah), dan UMKM.