Setiap kapal yang terlibat IUU Fishing (Illegal, Unreported, and Unregulated) harus ditangkap dan diproses hukum. Namun, kendala utama dalam penanganan kapal yang terlibat IUU Fishing adalah anggaran untuk memberi makan tawanan. Berdasarkan hukum perikanan dan kelautan, hanya kapten dan mualim, atau kepala kamar mesin (KKM) saja yang diajukan ke pengadilan.
Sedangkan ABK (anak buah kapal), nasibnya bakal luntang-lantung tak karuan di pelabuhan. Ibarat anak buah Kapten Jack Sparrow di film Pirates of Carribean, yang kerap menciptakan masalah di pelabuhan. Hanya saja, permasalahan anak buah Jack Sparrow lebih pelik karena kelakuannya. Di Indonesia, permasalahan para ABK dari kapal yang terjerat IUU Fishing adalah kebutuhan hidup mereka. Hal-hal seperti ini masih luput dari perhatian pihak-pihak terkait masalah perikanan dan kelautan.
Laporan tentang kapal-kapal asing maling ikan yang tertangkap, bahkan sampai ditenggelamkan, memang bagus. Tapi setelah itu bagaimana? Karena nasib ABK yang luntang-lantung tersebut cukup mengganggu anggaran negara.
Para ABK seharusnya dipulangkan ke negaranya. Dan tentunya ongkos pulang mereka, bukan tanggungan Indonesia. Tapi rupanya, negara asal mereka pun seolah menarik diri dengan alasan tak punya dana. Alasan lebih spesifiknya adalah negara asal ABK yang bersangkutan tak mau bertanggung jawab, karena mereka dianggap 'stateless' atau semacam pirates (bajak laut). Tak ayal, pengawas perikanan kembali harus pilah-pilih pertimbangan dalam menangkap, karena kembali kepada perhitungan biaya makan ABK.
Bila saja ada 30 orang ABK per kapal, selama 3 bulan lebih mereka luntang-lantung menunggu proses hukum mualimnya. Maka rupiah yang harus digelontorkan mungkin riilnya seperti ini; jika untuk satu hari makan = Rp20 ribu per ABK, maka untuk memproses 1 kapal membutuhkan biaya Rp20 ribu x 30 orang x 90 hari = Rp54 juta. Lalu bila 10 kapal yang ditangkap? Didapat dari wilayah utara dan selatan Indonesia pula.
Atau mungkin bisa dibiayai dari menjual barang bukti seperti ikan, jaring, dan kapalnya. Tapi jawaban secara hukum, tentu jelas, "Namanya juga barang bukti pengadilan, ya tentu tak bisa dijual." Sehingga barang bukti itu dibiarkan busuk dan karam di pelabuhan. Belum lagi puluhan ton ikan yang membusuk di palka kapal.
Kemudian konon kabarnya, ada ABK Indonesia yang kapalnya tertangkap di zona Atlantic Ocean. Dan mereka, menjadi pengemis di salah satu negara Amerika Latin, karena pemerintah Indonesia mungkin tak punya dana untuk menebus mereka.
Memang kabar tersebut masih butuh konfirmasi lagi. Tapi cukup gila bila fakta itu benar, bahwa nelayan Indonesia ternyata sampai ke Atlantik. Karena Indonesia hanya jadi anggota di Indian Ocean (IOTC) dan Pacific Ocean (WCPFC). Inilah sepenggal kisah klasik dalam upaya menegakkan IUU Fishing, bahwa pemerintah dan pihak terkait masih perlu menyoroti hal-hal di luar dugaan.
Sumber Foto
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H