Disinilah potensi kaum unbankable menjadi senjata cukup ampuh. Karena dalam proses pembangunan ekonomi, kemudahan akses keuangan bagi kelompok marjinal, selain dapat mereduksi konflik fisik antar sesama manusia, juga mampu mengeluarkan orang miskin dari perangkap kemiskinan bahkan membuat mereka jadi produktif.
Mantan Wapres RI Mohammad Hatta mengungkapkan, idealnya, 2 persen dari total penduduk suatu negara adalah pengusaha. Tentunya pengusaha yang menengah ke atas. Namun untuk bisa mencapai ideal itu, harus dimulai dari hal kecil. Pintunya adalah pengusaha usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI, Dhaniswara K Harjono mengungkapkan, ada 57,9 juta pelaku UMKM di Indonesia. Jumlah itu terbanyak di antara negara lainnya di dunia.
Kontribusi UMKM Indonesia terhadap pendapatan kotor (PBD) adalah 58,92 persen, serta berkontribusi menyerap tenaga kerja 97,30 persen. Dari 57,9 juta tersebut, bisa dibayangkan berapa PPh 21 Bukan Pegawai dan Pegawai yang didapat pemerintah. Apalagi semakin berkualitasnya UMKM.
Juga berkaca pada krisis 1998 lalu. Saat itu usaha besar satu persatu pailit karena bahan baku impor meningkat secara drastis, biaya cicilan utang meningkat lantaran nilai tukar Rupiah terhadap US$ menukik tajam.
Ada beberapa alasan mengapa UMKM dapat bertahan di tengah krisis moneter 1997 lalu, yaitu tidak memiliki utang luar negeri, tidak banyak utang ke perbankan karena mereka dianggap unbankable, menggunakan input lokal, dan berorientasi ekspor.
Â
Zakat dan Infaq
Ada pula yang menarik dari sisi upaya memperluas inklusi keuangan. Tahun lalu, Islamic Financial Services Board (IFSB) memiliki program tersendiri bagi Indonesia, yakni mengoptimalkan peranan zakat dan infaq. Keduanya, pada dasarnya ialah penyedia akses keuangan karena sumbernya relatif kontinyu. Infaq dan zakat akan disiapkan sebagai pendukung akses permodalan bagi pengusaha kecil, sehingga ke depannya akan dikelola untuk lebih di arahkan kepada perluasan investasi.
Bank Indonesia pada 2012 lalu telah mengharuskan bank memberikan kredit bagi UMKM. Yakni mengharuskan perbankan menyalurkan kredit ke UMKM, minimal sebesar 5% dari total portofolio kredit pada 2015. Pada 2016 dinaikkan menjadi 10%, kemudian 15% di 2017, dan 2018, 2019, 2020, dan seterusnya minimal 20%.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) juga mendukung upaya financial inclusion melalui kesepakatan dengan Islamic Development Bank (IDB), yang di dalamnya terdapat upaya perluasan akses keuangan secara syariah.