“Bila Kuikuti Saran Dokter, Umur Anakku Mungkin Lebih Pendek...” - Ira Sulistyowati
Apa peran kita terhadap orang lain? Apa bentuk kepedulian kita terhadap orang lain? Karena kita bisa berprestasi, menjadi baik untuk diri sendiri dan keluarga saja tidaklah cukup. Kita harus bermanfaat bagi orang lain.
Kisah heroik Ira Sulistyowati dengan Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia yang dirintisnya sejak 1993 lalu, adalah salah satu kisah perjuangan seorang ibu, dari jutaan ibu di Indonesia yang berjuang demi cinta dan kehidupan yang lebih baik.
"Di awali dengan anak saya, yang divonis menderita kanker darah atau leukemia tahun 1984, dimana saat itu suasana rumah sakit saat itu belum memadai. Dokter dan praktisi medis hanya mengatakan bahwa berobat dimana-mana sama saja, sehingga lebih baik ikuti saja permintaan anak. Kalimat yang seakan-akan membisikkan saya bahwa tidak ada lagi harapan untuk buah hati saya," ujar Pendiri Yayasan Kasih Anak Kanker Indonesia (YKAKI) Ira Sulistyowati.
[caption id="" align="aligncenter" width="471" caption="Ira Sulistyowati - Koran Jakarta"][/caption]
Ira adalah satu dari sekian banyak orang tua di Indonesia yang berjuang dengan segala daya dan upaya mencari kesembuhan bagi anaknya. Saat itu, Ira dan suaminya mencoba mencari informasi sebanyak-banyaknya, dengan fasilitas komunikasi yang ada, karena mereka selaku orang tua tidak mau menyerah begitu saja. "Hanya fasilitas telfon dan telex dari kantor saya, yang sangat baik memberikan fasilitasnya, yang bisa saya manfaatkan."
Saat itu bahkan RSCM (Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo) satu-satunya rumah sakit andalan mereka mengatakan 'give up' dengan kondisi anaknya. Ira lalu mencoba menelfon ke Australia. Jawabannya sangat memukul, mereka mengatakan enggan menerima pasien dari Indonesia karena pertimbangannya, di sana juga banyak yang sakit kanker.
Lalu usaha dilanjutkan dengan menelfon ke Amerika Serikat. Jawaban serupa, pihak di sana mengatakan tidak bisa menerima pasien, karena toh di Indonesia sudah ditangani dokter ahli kanker. Namun dari pihak Amerika Serikat, Ira diberikan informasi bahwa mungkin pihak Eropa bisa menanganinya.
"Saya menghubungi negara Belanda dan mereka bersedia, meski mereka memberikan waktu tiga hari agar kami bisa datang ke Amsterdam. Di situlah saya bersyukur karena anak saya dapat pengobatan di luar negeri. Tapi saya tak pernah berhenti berpikir, bagaimana dengan saudara-saudara kita yang mengalami hal serupa namun mereka belum bisa mendapat kesempatan seperti saya?" ujar Ira dengan mata berkaca-kaca.
Apalagi, lanjut Ira, di Belanda dia mendapati hal penting bahwa leukemia ternyata dapat disembuhkan. Ira mengaku betapa menyesalnya dirinya bila dia tidak berusaha sampai akhirnya mendapatkan informasi penting itu. "Betapa saya harus berbagi informasi menularkan kepada semua mengenai informasi ini agar dunia terbuka dan semua mata terbuka. Bagaimana bila saya saat itu hanya mendengarkan saran dokter dan tidak bisa mendapatkan hal berharga ini?" ujarnya sambil meluapkan tangisnya.
Meski akhirnya anak Ira meninggal tahun 2005 karena penyakit itu, dimana sang anak mengalami empat kali kekambuhan dan akhirnya meninggal, "Namun saya bersyukur 21 tahun kami mendampingi anak dengan usaha yang ada. Saya mulai mendirikan yayasan pada 1993 untuk menyurakan hal ini."
[caption id="" align="aligncenter" width="576" caption="Foto: lollipopcares.blogspot.com"]
Begitulah Ira dengan perjuangannya hingga melahirkan YKAKI. Di YKAKI Ira mendampingi anak-anak penderita kanker yang mendapat kesempatan fasilitas berobat dari pemerintah namun tidak ada tempat tinggal atau singgah agar orang tua dan anak-anak tersebut bisa fokus menangani penyakit yang mematikan itu. Karena itulah YKAKI mendirikan Rumah Singgah YKAKI.
Sokola Rimba
Sejalan dengan Ira, perempuan yang satu ini pun berjuang demi pendidikan masyarakat pedalaman Indonesia. Negara yang berlimpah kekayaan alam ini memiliki fakta menyedihkan dimana masyarakat hutan rimba kerap menjadi korban modernisasi.
Bagaimana kisah Saut Marlina Manurung atau yang akrab disapa Butet Manurung keluar masuk hutan rimba dan gunung untuk mewujudkan pengejawantahan jiwa sosialnya. Bagaimana perjalanannya masuk ke suatu daerah yang mungkin tidak terdeteksi oleh suatu sistem dan institusi negara, lalu mengajar dan menghasilkan karya yang baik bagi masyarakat di sana, adalah sesuatu yang harus diketahui masyarakat di Indonesia.
[caption id="" align="aligncenter" width="486" caption="Saut Marlina Manurung - Sokola.org"]
Jangan sampai terjadi lost generation, itulah salah satu tujuan Sokola Rimba yang dicetuskan Butet. Ketika orang-orang yang hidup dan bermasyarakat di pedalaman hutan dan rimba tersebut pada suatu saat harus menginjakkan kakinya di perkotaan, jangan sampai mereka menjadi korban 'permainan' masyarakat perkotaan.
"Jadi waktu masih sekolah SD, sering baca-baca buku dan komik berkisah petualangan, membayangkan hutan rimba dengan hewan-hewan buasnya yang digambarkan lucu-lucu. Namun ayah saya melarang saya untuk masuk ke hutan dan naik gunung," ungkap Butet yang ikut hadir mengisi acara peringatan dirgahayu tersebut.
Ketika dirinya menginjak bangku SMA, barulah ayahnya membolehkannya naik gunung. Saat Butet duduk di bangku kelas 2 SMA, sang ayah pun meninggal. Lalu teman-teman Butet mencoba menghiburnya dengan mengatakan bahwa bila ingin selalu berada dekat orang-orang yang kita cintai, yang telah mendahului, cobalah naik ke gunung.
"Sejak itulah, tepatnya di usia saya 17 tahun hingga sekarang, hampir tiap bulan berkegiatan di gunung atau outdoor. Namun ada titik balik dimana saya menjadi ingin mengajar di rimba," kata Butet. Dia terketuk hatinya saat sering melihat alam rimba yang rusak, gunung yang makin tandus, serta manusia yang hidup di dalamnya tidak bertambah baik keadaannya.
[caption id="" align="aligncenter" width="460" caption="Foto: sekolahpesisir.files.wordpress.com"]
Pada tahun 1999 Butet berkesempatan menjadi seorang relawan (volunteer) di Warsi sebuah lembaga konservasi saat itu. Dia miris melihat manusia rimba yang tidak bisa baca dan tulis. Mereka selalu tertipu saat berdagang, bahkan hingga tertipu oleh pihak tertentu yang mengadakan kontrak kerjasama pakai lahan hutan.
"Mereka tak tahu apa yang mereka tanda tangani, dan akhirnya hutan mereka hilang, tempat tinggal mereka digusur. Jadi begitulah awalnya saya ingin mengajar," kenangnya.
Kemudian sejak 1999, Butet pun mengabdikan dirinya mengajar di kawasan hutan rimba dan pegunungan di Jambi. Dan akhirnya Sokola Rimba karya Butet sekarang makin meluas cakupan anak didiknya. "Sudah sekitar 10 ribuan orang yang mengikuti pendidikan Sokola Rimba," ungkap Butet.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H