Membaca dan menulis sudah menjadi semacam kultur yang ditanamkan sejak kecil di keluarga saya. Bapak saya yang seorang guru selalu membawa setumpuk buku dari perpustakaan sekolah untuk saya baca di rumah. Habis membaca, saya akan disuruh menulis kembali ringkasan atau hal-hal penting yang saya dapatkan dari buku yang saya baca.
Terkadang di antara buku-buku, terselip beberapa lembar koran yang sudah tidak utuh halamannya, dan itu juga tidak luput untuk saya jadikan bahan bacaan. Kadang menjadi kesal ketika membaca satu artikel yang ternyata bersambung di halaman yang lain, dan ternyata halaman yang dimaksud sudah tidak ada, entah tercecer dimana. Akhirnya menebak sendiri atau tak jarang menulis sendiri artikel lanjutannya, dan tentu saja sesuai keinginan hati. Wong memang untuk kalangan sendiri.
Kebiasaan kesal karena sering mendapati lembar-lembar koran yang sudah tidak utuh, maka ketika berlangganan koran, saya punya kebiasaan menstaples koran yang baru datang agar semua lembarannya menyatu sebelum sempat dibagi-bagi. Tidak ada lagi kejadian lembar yang satu dibaca si A, lembar yang lain dibaca si B, karena ini yang membuat lembar-lembar koran tercecer dan tak jaran hilang secara gaib. Makanya kalau ingin membaca koran, harus sabar menunggu giliran saat koran masih dibaca orang lain.
Kompas adalah media cetak nasional yang paling menarik perhatian saya. Isinya menurut saya sangat menambah wawasan dan membentuk kerangka berpikir. Sebegitu kuatnya Kompas mempengaruhi hidup saya, saya sampai bertekad saya harus punya tulisan yang dimuat di Kompas.
Namun pepatah klise yang mengatakan bahwa 'kenyataan memang tidak selalu semudah impian' memang benar adanya. Berbagai tulisan pernah saya kirim untuk Kompas, tetapi tidak ada yang tembus. Beberapa tulisan saya memang sudah pernah dimuat di Kompas untuk kolom 'Anak' dan 'Muda', tetapi target saya untuk membuat tulisan yang lebih bertema umum dan sedikit lebih serius tak kunjung menemukan titik terang.
Bergabung dengan Kompasiana 13 tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 11 Agustus 2010, saya seperti menemukan media untuk menyalurkan hasrat menulis saya yang kadang seperti bergelora tak terkendali. Semua hal selalu saya ingin tulis, mulai dari hal yang remeh temeh sampai yang serius.
Dan memang pada akhirnya Kompasiana yang membantu mewujudkan impian saya tanpa pernah saya sangka sebelumnya. Beberapa tulisan saya yang awalnya saya tulis di Kompasiana terpilih untuk dimuat di harian Kompas, baik yang cetak maupun online seperti Kompas.Com. Kompasiana menjadi jembatan bagi saya untuk meniti mimpi saya untuk memiliki tulisan yang bisa dan layak dimuat di harian sekaliber Kompas. Kalau tidak ada Kompasiana, mungkin impian saya tersebut hanya akan sebatas impian saja sampai dunia kiamat.
Saya sampai sekarang masih menyimpan baik-baik halaman artikelnya, walaupun sudah rapuh dan berubah warna karena termakan waktu. Saya simpan dan rawat baik-baik sebagai bukti otentik jika kelak dijadikan salah satu persyaratan masuk surga
Dulu Kompas sempat memiliki halaman khusus untuk memuat artikel-artikel pilihan dari Kompasiana di rubrik Klasika. Sayang, halaman ini sudah tidak ada lagi.
Kalau saya intip halaman profil saya di Kompasiana, tercatat sata sudah menulis 194 artikel. Jumlah yang menurut saya sangat sedikit, mengingat saya sempat vakum beberapa tahun tidak menulis di Kompasiana karena kesibukan. Kesibukan yang tanpa dibarengi dengan menulis di Kompasiana ternyata membuat hidup saya terasa hambar dan hampa.Â