Di dunia perhotelan biasanya ada beberapa tamu yang menjadi favorit para karyawan, misalnya karena baik dan ramah. Atau karena royal memberi uang tip. Atau karena suka mengajak ngobrol, dan lain-lain.
Seperti layaknya hukum alam, kalau ada tamu favorit, berarti ada juga tamu yang kurang favorit. Biasanya tamu yang kurang favorit ini karena galak dan cerewet. Tapi meskipun begitu, bukan berarti kita memperlakukan mereka berbeda lho ya, tetapi untuk tamu yang kurang favorit biasanya kita agak 'jaga jarak'.
Jaga jarak dalam arti begini lho. Dalam bisnis perhotelan sangat ditekankan hospitality, pokoknya senyum itu wajib. Kalau tidak wajib, berarti bukan senyum. Jadi biar pun misalnya tamu yang datang sesosok monster, ya kita harus tetap senyum saat berhadapan dengannya, tidak boleh lari menyelamatkan diri. Kalau pun akhirnya mati dimangsa monster tersebut, matinya wajib dalam keadaan tersenyum. Seperti itulah kira-kira gambaran ngawurnya.
Jadi pernah saya menerapkan itu pada tamu saya yang masuk kategori tamu kurang favorit para pemirsa. Saat berpapasan di koridor hotel, saya senyum dan sapa, "Selamat pagi/siang/malam," dia melengos saja. Besoknya berpapasan lagi., saya senyumin dan sapa lagi dong, beliau masih teguh kukuh berlapis baja dengan lengosan andalannya.
Hari berikutnya, saya berpapasaan lagi. Saya senyumin dan sapa lagi. Tau apa reaksinya? Mungkin karena merasa 'terganggu' dengan keramahan saya yang konsisten meskipun sudah dizolimi, dia pun menghardik, "Jangan kecentilan deh. Dari kemarin senyum-senyumin saya terus."
Buat kami yang bekerja di bidang atau profesi yang mengedepankan hospitality, tidak boleh ada kata kapok meskipun dibegitukan oleh tamu, harus tetap kecentilan, eh...maksudnya harus tetap konsisten menebar senyum dan sapa.
Jadi, daripada senyum dan sapa saya terbuang sia-sia, dan kebetulan saya masih mengedepankan martabat dan harga diri, maka pada beberapa kesempatan saat saya sudah melihat beliau di ujung sana dan berpotensi untuk berpapasan dengan saya, maka saya akan langsung balik kanan, atau belok kanan/kiri.Â
Biar pun katanya kalau belok kiri atau kanan beresiko terjun ke jurang atau lembah kegelapan, saya siap menerima resiko itu. Daripada saya sakit hati gitu lho, karena kalau berpapasan, saya pasti wajib tersenyum dan menyapa, dan harus pasrah dengan resiko dituduh kecentilan lagi.
Nah, jaga jarak yang seperti itu yang saya maksud. Jadi seperti semacam win-win solution kalau istilah ekonominya. Saya juga berusaha memaklumi, mungkin dia orangnya introvert, tidak terlalu suka interaksi dengan orang lain. Dengan menghidar agar tidak berpapasan, hati saya juga menjadi aman, tidak tersobek-sobek lagi karena mendapat omelan gratis.
Setelah beberapa kali jaga jarak, pada suatu kesempatan dia malah mendatangi saya dan bilang, Â "Kamu kok sekarang tidak pernah menyapa saya lagi?"Â