Tanggung jawab untuk memberi edukasi mengenai batasan-batasan interaksi fisik ini bukan hanya monopoli orangtua, tetapi seharusnya sekolah juga. Karena di sekolah justru anak-anak ini rentan dengan physical abuse karena jumlah orang-orang di sekolah tentu saja jauh lebih banyak daripada di rumah.
Alangkah baiknya jika anak-anak tidak dibiasakan merasa nyaman atau bebas berkontak fisik dengan orang dewasa, apalagi yang bukan orangtua, dokter atau keluarga, termasuk guru sekalipun. Karena dikhawatirkan kelak kebiasaan ini menjadi dianggap sebagai sesuatu yang normal, bakan ketika bersentuhan dengan orang dewasa yang tidak dikenal.
Karena ketika si anak nyaman dengan sentuhan fisik, bisa menimbulkan semacam adiksi yang membuat si anak merasa nyaman saat menerimanya dari individu yang berbeda, termasuk dari orang yang tidak dikenal atau baru dikenal. Kenyamanan yang bisa disalahgunakan oknum untuk tujuan pribadi yang secara negatif mempengaruhi perkembangan si anak secara fisik dan psikis.
Begitu banyak kasus pelecehan anak-anak atau murid yang justru dilakukan oleh orang dewasa, bahkan tenaga pendidik. Mirisnya, ada beberapa kasus justru terungkap setelah terjadi berulang kali.
Jika merunut pada kronologi kejadian perkara, pada awalnya tidak ada unsur pemaksaaan, tetapi kemudian mengarah kepada pelecehan. Bisa jadi awalnya hanya sebatas sentuhan fisik yang dianggap normal oleh si anak. Sentuhan fisik yang kemudian berkembang menjadi pelecehan seksual. Dan ketika si anak menyadari bahwa sentuhan fisik tersebut sudah berlebihan dan membuat tidak nyaman, sudah terlambat untuk menghindar.
Edukasi tentang batas-batas sentuhan fisik ini seharusnya tidak hanya sebatas wacana, tetapi bisa juga dipraktekkan dalam aktivitas sehari-hari. Dan sebenarnya yang paling potensial mengaplikasikan edukasi ini adalah tenaga pendidik di lembaga formal atau informal, seperti sekolah, pondok pesantren, panti asuhan dan lain-lain. Karena di lembaga ini lah anak-anak berinteraksi dengan orang dewasa yang bukan orangtua si anak. Di lembaga ini lah teori dan praktek bisa langsung dijalankan.
Ketika si anak tanpa sadar melakukan kontak fisik yang tidak perlu, tenaga pendidik bisa langsung mengingatkan, sehingga si anak terbiasa mengetahui batasan interaksi fisik dengan orang dewasa yang bukan orangtua sendiri. Apa yang boleh dan tidak boleh ketika terlibat kontak fisik dengan orang lain, baik orang dewasa maupun teman sendiri.
Seperti slogan klasik yang mengatakan bahwa kejahatan tidak selalu terjadi karena ada niat, tetapi karena ada kesempatan. Kita tidak pernah bahwa awal jadi terjadinya beberapa kasus pelecehan seksual anak-anak mungkin bukan dari niat pelaku, tetapi karena sentuhan dari si anak yang sebenarnya tidak bertendensi apa-apa, sementara orang dewasa begitu gampang terpicu secara seksual.
Maka sebaiknya kita sebagai orang dewasa tidak hanya mengedukasi si anak, tetapi juga mengedukasi diri sendiri untuk bisa menghindar dan mengingatkan si anak ketika dengan polos melakukan sentuhan pada kita yang bisa jadi berpotensi memberi rangsangan seksual terhadap orang dewasa lainnya. Bukan malah menganggapnya sebagai sesuatu yang normal, atau bahkan luar biasa sehingga menjadikannya sebuah konten  di media sosial sebagai sebuah kebanggaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H