Di awal kemunculannya di industri musik Indonesia, Agnez Mo (yang sebelumnya dikenal dengan nama Agnes Monica), sesungguhnya sudah menunjukkan bahwa dia berbeda dari penyanyi-penyanyi perempuan Indonesia lainnya. Meskipun dicecar dengan tuduhan sebagai penjiplak Britney Spears dan Christina Aguilera, namun harus diakui bahwa Agnez tampil cukup baik. Bukan hanya sekedar menjadi kopi karbon, tetapi memang menawarkan kualitas vokal dan aksi panggung yang dipersiapkan dan digarap serius.Â
Agnez bukan satu-satunya yang terkesan Britney atau Christina wannabe, ada beberapa nama dan penyanyi pendatang baru yang juga mencoba mengikuti trend penyanyi remaja  Amerika tersebut, tetapi hanya Agnez yang kemudian berhasil bertransformasi dan mempertahankan eksistensinya sampai sekarang.
Yang menarik, Agnez juga tidak ingin menjadi sama dengan penyanyi perempuannya lainnya yang cenderung seragam play it safe, dalam artian hanya menyenandungkan lagu-lagu yang bertendensi supaya laris diundang bernyanyi di resepsi pernikahan anak pejabat negara. Meskipun Agnez juga menawarkan irama lagu ballad, tetapi Agnez juga kerap memberikan pilihan lagu berirama beat yang untuk aksi panggungnya dia harus didampingi sejumlah dancers  yang kini mejadi semacam signature aksi panggung Agnez.
Penyanyi kelahiran tahun 1986 ini adalah sosok penyanyi yang penuh kepercayaan diri. Percaya pada kemampuan dan kualitasnya, percaya bahwa dia punya kapasitas untuk berbicara di forum musik dunia. Dan kepercayaan diri Agnes tentu tidak dibarengi dengan modal dengkul, atau hanya sebatas simbol arogansi dari hasil percaya diri yang berlebihan. Satu hal yang paling mendasar sebagai modal yang cukup penting adalah bahasa Inggris yang dia kuasai dengan sangat baik seperti layaknya native speaker, hasil menekuk lidah sejak usia anak-anak sehingga aksen Indonesianya tidak kentara saat berbicara dalam bahasa Inggris. Juga tidak putus berjerih payah menjalin relasi dengan orang-orang penting di dunia musik Amerika.
Hasilnya, dia berhasil menggaet produser sekaliber Timbaland menelurkan single 'Coke Bottle'. Kemudian dengan Chris Brown yang menghasilkan 'Overdoze'. Dan yang paling segar, dia baru saja meluncurkan 'Get Loose' hasil kolaborasi dengan Ciara.
Nama-nama seperti Timbaland, Chris Brown, Ciara (dan entah siapa lagi yang berikutnya yang ada dalam list pink folder milik Agnez), jelas adalah nama-nama yang masih diperhitungkan di blantika musik Amerika. Agnes memang tidak main-main dengan obsesinya untuk menembus bursa musik negara adikuasa tersebut, dan bisa jadi dia memang cukup berpeluang untuk berada di sana.
Timbaland dan yang lain tentu tidak akan bersedia membuka peluang kerjasama dengan sembarang artis karena ini juga menyangkut reputasi mereka. Jika dikaitkan dengan bayaran, siapa yang berani mengklaim bahwa Timbaland, Chris Brown atau Ciara akan melakukan segalanya demi uang? Toh, mereka bukan artis-artis yang sedang kesulitan finansial. Yang pasti pertimbangan mereka untuk membuka kesempatan kolaborasi adalah bahwa artis yang menjadi tandem  dinilai mampu memberi mutual benefit, keuntungan kepada kedua belah pihak.
Jika menilik track record Agnez di Indonesia, siapa saja tentu akan dengan senang hati menjalin kerjasama. Sebagai penyanyi yang diklaim sebagai penyanyi nomor satu dan termahal Indonesia saat ini, tentu sudah bisa menjadi satu daya tarik & jaminan. Jangan pula dilupakan di ranah media sosial Agnez masih memimpin barisan dengan jumlah followers terbanyak. Jelas ini adalah materi bargain power yang bisa diandalkan untuk lebih meraup jumlah audiens yang lebih luas lagi, khususnya di pasar Indonesia sebagai salah satu pasar musik terbesar di kawasan Asia.
Sayangnya, keputusan Agnez untuk mengubah kiblat musiknya demi tujuan beradaptasi secara penuh dengan industri musik Amerika tidak mendapar respon positif dari semua orang, khususnya di Indonesia. Banyak yang mencecar Agnez dengan tuduhan tidak bangga sebagai penyanyi asal Indonesia karena tidak berbusana seperti kebanyakan penyanyi Indonesia. Dari sisi musik, mereka menyayangkan perubahan genre musik yang diusung Agnez yang sekarang bermuara pada black music, genre yang sebenarnya memiliki pangsa pasar yang jelas dan konsisten di Amerika, tidak lagi mengandalkan lagu-lagu ballads yang selama ini memanjakan telinga di Indonesia.
Tidak semua orang bisa melihat bahwa ini adalah bentuk usaha Agnez yang serius agar bisa membaur dengan kultur Amerika. Ada harga mahal yang dia pertaruhkan untuk bisa diterima publik musik Amerika: biaya, tenaga dan kepercayaan publik pada kemampuannya. Jika Agnez memutuskan ingin menjadi the girl next door, itu adalah pilihan Agnez berdasarkan pertimbangan yang matang. Jika artis lain mungkin memilih untuk tetap menonjolkan ke-Indonesia-annya, tentu sah-sah saja. Tetapi bukankah jalan hidup dan keberuntungan setiap manusia berbeda-beda? Sebuah konsep tertentu mungkin berhasil untuk seorang artis A, tetapi belum tentu berhasil untuk artis B.