[caption id="" align="aligncenter" width="581" caption="Photo : Kompasiana/Avanza"][/caption]
Selama mendampingi artis Australia yaitu boyband The Collective selama berada di Jakarta, panitia menyediakan tiga buah mobil (salah satunya adalah Avanza), yang akan saya gunakan sebagai transportasi untuk mengantar dan menjemput para artis-artis ini kesana kemari, sehubungan dengan acara dan jadwal padat yang harus mereka ikuti selama berada di Jakarta. Mulai dari mengantar jemput ke/dari bandara dan hotel, termasuk mengantar mereka jalan-jalan atau menuju lokasi acara dimana mereka harus tampil. Seperti yang kita sama-sama tau, macetnya Jakarta memang sangat mempengaruhi mood. Mood yang tadinya bagus dan cinta damai bisa berubah menjadi berantakan dan siap tempur saat terjebak macet.
Bulan Agustus adalah bulan yang lebih dominan sinar matahari dibanding hujannya. Maka macet dan panas adalah kombinasi yang bisa memicu Perang Dunia. Pada beberapa kesempatan, saya membawa artis-artis yang saya dampingi naik Avanza warna hitam metalik, entah itu sekedar jalan-jalan dan shopping ke Mall. Ini bukan pengalaman pertama saya mendampingi orang asing yang minta ditemani jalan-jalan di Jakarta.
Ya, pada kesempatan yang lampau, orang asing yang saya temani adalah teman –teman saya yang notabene adalah sesama 'rakyat jelata'. Rakyat jelata saja begitu cerewetnya saat terjebak macet, dan biasanya saya yang diomelin, seolah-olah saya adalah Gubernur Jakarta yang punya keputusan dan kebijakan yang berhubungan dengan kondisi Jakarta. Sebagai tuan rumah yang baik, saya biasanya hanya akan tersenyum sambil memberi penjelasan bohong dengan mengatakan bahwa macet ini hanya sebentar. Sebentar versi saya dengan sebentar versi mereka jelas berbeda, dan itu yang saya jadikan tameng untuk meredakan amukan mereka.
“Kok lama sekali berhentinya?” Ini pertanyaan wajib mereka untuk mengawali ritual penyiksaan saya.
“Lampu merah”
“Oh”
Syukurlah penjelasan saya yang ala kadarnya dan hanya modal tebak-tebak buah manggis bisa meredakan 'amukan massa' untuk sementara.
“Kok lama sekali?” tiba-tiba terdengar lagi suara dengan nada tak sabar dan mulai sedikit emosi. Sepertinya saya tadi terlalu cepat lega.
“Lampu merah”
“Kok lampu merah dari tadi?”
“Tadi lampu merah, sekarang macet”
“Oh”
Begitulah dialog yang berulang-ulang akan terjadi. Padahal mereka cuma ongkang-ongkang kaki di jok belakang. Yang nyupir saja yang notabene pasti lebih kacau malah santai-santai saja, mungkin karena sudah terbiasa dengan kondisi seperti ini.
Pengalaman itu juga yang membuat saya agak was-was saat mendampingi artis-artis asing yang jelas punya standar, behavior dan pengertian yang berbeda dengan rakyat jelata. Jadi waktu itu, kebetulan saya membawa mereka naik Avanza dari kawasan HI menuju Kemayoran. Seperti yang kita tau, pada jam-jam sibuk tertentu, jalan raya Jakarta adalah lingkaran setan dalam arti kadang tidak ada yang bisa memastikan apakah kemacetan ini akan terurai atau kita akan stuck membusuk disini sampai lebaran monyet.
Nah, benar saja. Ternyata saat melewati jalan Thamrin, kami terjebak macet. Antrian mobil di depan sana seolah tak berujung. Sudah sepuluh menit mobil tak bergerak, saya menangkap gerak-gerik mencurigakan artis-artis saya di jok belakang. Oh OK, saatnya saya akanmenjawab pertanyaan-pertanyaan yang menyiratkan keluhan terselubung yang nantinya akan diikuti oleh 'amukan massa'. Amukan massa? Ya, karena mereka ada lima orang. Saatnya saya harus pasang kuping tebal untuk mendengar omelan mereka tentang macetnya Jakarta. Saatnya saya harus mendengar komentar nyinyir orang asing tentang Jakarta.
Anehnya sampai beberapa waktu berlalu, belum ada bunyi-bunyian yang berarti dari arah belakang. Mereka bahkan asyik ngobrol. Oh OK, mungkin mereka sedang menyusun skenario siapa yang akan komplain mengenai macet, siapa yang akan komplain mobil yang tidak OK, siapa yang akan komplain menuduh saya tidak becus memilih mobil. Beberapa waktu kembali berlalu begitu saja, tetap tidak ada komplain dan omelan seperti yang saya ‘harapkan’ sejak tadi.
“Harrys...” seru salah satu dari mereka. Nah, benarkan dugaan saya. Saya langsung tegang dan siap ngeles a la bajaj demi harga diri dan martabat bangsa.
“Berapa lama lagi sih kita akan sampai?”
“Kenapa? Kamu sudah bosan ya?” Saya balik bertanya, sekedar membujuk serta mengalihkankan perhatian dan pembicaraan
“Tidak kok”
“Seharusnya kita bisa sampai disana dalam waktu 30 menit, tetapi kita sedang terjebak macet” jawab saya, masih dengan nada membujuk.
“Jadi masih lama ya?”.
Dengan perasaan tidak enak, saya mengangguk.Mati deh saya.
“Oh nggak apa-apa. Saya bertanya bukan karena saya kesal, tetapi saya ingin tau apakah saya bisa sempat membaca dan membalas email di komputer saya”
“Maaf ya, soalnya di luar macet.” Lagi-lagi saya yang merasa bersalah.
“It’s OK. Nyaman kok disini” jawabnya sambil mengeluarkan laptop-nya. Saya menoleh ke belakang. Mereka ada lima orang, tidak ada sama sekali wajah cemberut atau bosan. Mereka bahkan serentak memandang saya lalu tersenyum, seperti sedang tidak terjadi apa-apa. Ah, jangan-jangan saya yang sejak tadi khawatir terlalu berlebihan. Saya jadi membayangkan seandainya teman-teman saya yang sesama rakyat jelata yang ada di jok belakang ini, saya pasti sudah kena bentak, “Apa lihat-lihat dan senyum seperti orang kegatelan begitu? Nggak tau ya kalau saya sedang kesal gara-gara macet sialan ini!”.
“Kalian baik-baik saja?” tanya saya heran. Kok bisa mereka sesantai ini menghadapi macet. Saya saja yang sudah setiap hari ketemu macet dan terbiasa terjebak macet sudah mau meletus sejak tadi.
“Tentu saja kami baik-baik saja. Di luar memang macet, tetapi di dalam sini kan kita nyaman. Kursinya empuk, AC-nya sejuk, interior-nya lapang tidak bikin badan pegal”
"Saya bahkan bisa fitness disini," celutuk salah satu dari mereka sambil merentangkan kaki dan tangan, tanpa kena ke orang lain.
"Saya ingin menyulam" celutuk yang lain. Hah? Menyulam? Syukurlah dia hanya bercanda. Saya sudah sempat pusing bagaimana cara menyediakan benang dan jarum di tengah macet begini.
Saya jadi teringat pengalaman saya dengan sesama 'rakyat jelata' dulu dimana saya menjadi korban 'amukan massa'. Sekarang saya tau masalahnya. Yang membuat mereka mengamuk bukan hanya macetnya saja, tetapi juga mobil yang kami pakai waktu itu, bukan Avanza. Saya jadi berpikir, mungkin orang-orang menjadi stress gara-gara macet dan gampang emosi serta marah karena mereka berada dalam ruang yang tidak membuat mereka nyaman, sehingga mereka lebih fokus pada hal buruk yang terjadi diluar sana dan mencari-cari masalah untuk dijadikan bahan perkelahian. Saya jadi seperti mendapat pencerahan, bahwa jika kita berada di ruang yang nyaman, kondisi itu akan membuat kita berada dalam posisi positif sehingga tidak punya waktu untuk memikirkan hal-hal buruk atau menyiksa diri mencari-cari masalah yang seharusnya bukan masalah.
Terima kasih Avanza yang sudah menyelamatkan saya dari serangan omelan dan komplain tak penting. Saya jadi punya rencana mengajak teman-teman sesama rakyat jelata untuk jalan-jalan lagi, tetapi kali ini harus naik Avanza. Jika ternyata mereka masih komplain dan mengomeli saya, saya tidak akan ragu untuk menurunkan dan mendepak mereka di tengah jalan, karena saya yakin diri mereka sendirilah yang bermasalah, bukan macet atau mobilnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H