Mohon tunggu...
Harrys Simanungkalit
Harrys Simanungkalit Mohon Tunggu... Freelancer - Hotelier

Manusia Biasa Yang Sering Overthinking

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Membunuh untuk Kesenangan di Mancing Mania Trans7

27 Februari 2014   23:23 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:24 3941
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo : TVGuide.Co.Id

[caption id="" align="aligncenter" width="562" caption="Photo : TVGuide.Co.Id"][/caption]

Menonton acara Mancing Mania di Trans 7 selalu membuat saya gerah meskipun cuaca di luar sedang turun hujan. Gerah karena saya tidak mengerti nilai positif apa yang bisa saya (dan mungkin penonton lain) petik dari tayangan yang dikemas dalam bentuk adventure ini.

Jadi dalam tayangan yang khusus memamerkan hobby memancing kalangan tertentu yang saya percaya adalah kalangan ‘the have’, dipamerkan bagaimana mereka mengembara ke tengah lautan menggunakan kapal bertenaga mesin dan alat pancing canggih. Jelas mereka ini bukan nelayan yang mencari ikan sebagai sumber nafkah. Mereka ini adalah orang-orang kaya yang mungkin sudah kebingungan kemana lagi hendak membuang-buang uang.

Sebenarnya bukan urusan saya mereka mau membuang uang kemana, tetapi esensi kegiatan dan tayangan ini yang sedikit menganggu saya. Pada beberapa tayangan sebelumnya, saya melihat mereka berhasil menangkap ikan yang berukuran besar. Menangkap bukan dengan cara dijala, tetapi dipancing dengan mata kail berukuran jangkar kecil. Seperti yang saya sampaikan tadi, mereka ini bukan nelayan. Jadi setelah berhasil menaikkan ikan yang terluka ke atas kapal, mereka tertawa-tawa dengan bangga sambil disorot kamera, lalu berpose sok kece layaknya generasi alay, selanjutnya sang ikan yang sudah terluka di bagian dalam (akibat kaitan mata kail) dilepaskan kembali ke laut. Entah dimana pikiran mereka saat melepaskan ikan yang sudah terluka. Setelah melukai sang ikan, mereka lepas tanggung jawab. Bukankah sebaiknya mereka memotong , memasak dan mengkonsumsi ikan tersebut daripada membiarkannya tersiksa seperti itu? Atau kalau mau esktrim, membawa ikan tersebut ke dokter hewan, obati lukanya. Setelah sembuh, baru lepaskan ke laut.

Hari ini tanggal (tanggal 27 Februari 2014) saya kembali menyaksikan kesadisan yang sama. Para 'pembunuh berdarah dingin' ini menangkap ikan (yang saya tebak adalah jenis kakap) berukuran sebesar anak sapi. Ukuran ikan yang cukup besar membuat mereka kesulitan menarik ikan hanya dengan mengandalkan mata kail. Maka untuk mempermudah, mereka menancapkan sebuah senjata yang mirip obeng raksasa ke kepala ikan tersebut. Dengan cucuran darah segar dan tubuh ikan yang bergetar-getar seperti sedang menghadapi sakratul maut, ikan berhasil ditarik ke atas kapal. Seperti biasa, setelah cengar-cengir seperti seolah menganggap aktifitas membunuh untuk kesenangan adalah sebuah prestasi, tidak jelas bagaimana nasib ikan tersebut pada akhir cerita. Mengingat mereka bukan nelayan, ada kemungkinan nasib sang ikan sama dengan nasib ikan-ikan sebelumnya, yaitu dilempar kembali ke laut dalam keadaan sekarat.

Adegan sadisme belum berhenti sampai disitu. Pada satu kesempatan, mereka berhasil menangkap ikan pedang (saya tidak tau apakah benar namanya seperti itu, yang pasti bentuk moncong ikannya menyerupai gergaji). Mungkin keder dan kehilangan nyali melihat bentuk fisik ikan yang cukup mengintimidasi seperti itu, mereka tidak berani menarik ikan ke atas kapal. Salah satu pria kemudian berbicara begini : “mata kailnya masuk terlalu dalam, sehingga susah untuk mengambilnya, jadi akan saya potong saja talinya”. Dan crap!, sang pria memotong benang kail dan membiarkan mata kail yang besar dan tajam itu tetap menancap di bagian dalam tubuh ikan. Selanjutnya, seperti yang sudah saya tebak, sang ikan dikembalikan ke laut.

Saya bingung dengan nilai dari materi tayangan seperti ini. Konsep acaranya tidak lebih dari sekedar mempertontonkan realita beberapa kalangan yang memiliki hobby membunuh dan menyiksa mahluk hidup lain untuk kesenangan. Sama sekali tidak ada nilai edukasinya, malah lebih cenderung mengusung nilai sadisme. Tayangan seperti ini menurut saya tidak lebih baik dari tayangan acara-acara yang mempertontonkan goyangan bodoh atau talkshow kosong, hanya saja beda konsep dan kemasan, tetapi masih dalam level yang sama : tidak mendidik.

Saya kadang bingung, Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) kerjanya ngapain aja? Hanya duduk ongkang-ongkang kaki menunggu komlain dan laporan? Selama ini mereka hanya pasif menunggu laporan dari pemirsa. Tidak pernah sekalipun memiliki inisyatif sendiri untuk melakukan tindakan, padahal mereka juga punya mata dan pikiran sama seperti pemirsa.

Memang benar saran teman saya, bahwa tidak menonton tayangan TV lokal membuat hidup lebih bermakna karena kita tidak harus melihat tayangan-tayangan kosong yang kadang membuat anda naik pitam.

Mungkin juga akan selalu ada yang bilang “kalau tidak suka atau merasa terganggu, ya jangan tonton”. Well, sebuah komentar dari kalangan asosial, yang hanya memikirkan diri sendiri tanpa peduli dengan efek tayangan tersebut terhadap orang lain (khususnya anak-anak dan remaja) yang belum bisa memilah mana tontonan yang baik dan mana tontonan yang buruk.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun