[FAPI] Lihatlah, saya telah sampai di kotamu, di stasiun tempat kita pernah berpisah dulu. Tapi tenang, kedatangan saya ini sama sekali tak bermaksud apa-apa selain menjenguk kenangan yang cukup lama saya tinggalkan.
Kamu mesti tahu, kenangan juga butuh dijenguk seperti halnya orang sakit; sebab di sanalah Tuhan suka berlama-lama, menghabiskan waktu atau sekedar menghibur orang yang sakit itu.
Di stasiun ini tidak begitu banyak yang berubah, ya. Saya masih bisa mencium bau-bau besi-besian berkarat yang sarat akan rindu yang sekarat. Pagar tralis yang cukup tinggi, bangku panjang dari potongan rel dan tiang-tiang stasiun.
Oh, tunggu, di mana telepon umum yang ada di ujung peron dua sebelah selatan? Kamu ingat, kan? Tak jauh dari sana kita suka bertaruh soal lama atau sebentarnya seorang perempuan yang datang sekitar pukul lima petang menanyakan perihal cinta pada entah siapa yang mirip di cerpen Seno Gumira Ajidarma. Pada taruhan itu saya yang sering kalah memang, tapi terlepas dari itu semua, saya senang melihat senyummu yang sumringah.
Sepertinya saya cukupkan dulu sampai di sini, kelak surat ini akan saya lanjutkan dan cepat saya kirim sesaat bila memang keberanian saya sudah rampung dikumpulkan.
Sungguh, tak peduli seberapa lamanya itu, ataupun kamu sudah menjadi Ibu untuk anak dan suamimu.
Â
Di CommuterLine tujuan Bogor, 2015 | Keterangan gambar: Perempuan meninggalkan stasiun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H