Setiap hari kamis, seperti yang kita tahu, ada beberapa orang dengan rutin datang ke depan Istana Merdeka. Mereka semua menggunakan pakaian serba hitam. Membawa payung hitam. Dan, berdiam diri sambil membawa foto-foto orang yang “dihilangkan” atas nama keamanan. Harapan mereka hanya satu: adanya keadilan pada korban kasus-kasus pelanggaran HAM. Hari itu mereka beri nama: Kamisan.
Kamisan adalah bentuk aksi oleh para keluarga dan kerabat yang menjadi korban kekejian pelanggaran Hak Asasi Manusia. Dari korban Trisakti, pembunuhan Munir, sampai para aktivis yang diculik pada kerusuhan Mei 1998. Hanya dengan menunggu yang mereka bisa lakukan. Karena mengembalikan nyawa yang telah hilang itu tidak mungkin, bukan?
Ketika orang-orang itu secara rutin menggelar aksi Kamisan, dua hari setelah itu, pada sabtu (29/11) pukul 15:15, seorang yang bernama lengkap Pollycarpus Budihari Priyanto dibebaskan bersyarat. Ia adalah mantan pilot yang terlibat pembunuhan Munir dalam penerbangan dari Jakarta menuju Amsterdam pada November 2004. Dengan rambut yang sudah beruban, Pollycarpus melenggang dengan santai ke rumah menggunakan Taksi Gemah Rimpah dari LP Kelas 1 Sukamiskin, Bandung.
Pembebasan Pollycarpus dinilai telah menciderai demokrasi dan konstitusi. Seperti yang diungkap Febi Yonesta pada Kompas, “Pollycarpus tak berhak menerima pembebasan bersyarat karena tindakannya termasuk perbuatan keji dan melanggar HAM”. Namun apa boleh buat, semua prosedur itu telah ia jalani selama 8 tahun.
Awalnya ia divonis 20 tahun penjara, kemudian dikurangi menjadi 14 tahun dan ditambah remisi sana-sini yang diberikan SBY ketika itu sebanyak 51 bulan 80 hari. Betapa nikmat menjadi narapidana sepertinya, ya.
Di Indonesia, nasib orang baik hidupnya sangatlah tidak menarik. Munir misalnya. Seperti yang kita tahu, ia adalah aktivis pelanggaran hak asasi manusia.
Banyak yang tengah Munir kerjakan: peristiwa Talangsari, kerusuhan Tanjung Priuk, kekerasan Atjeh, pembantaian Santa Cruz Timor-Timur, Pembunuhan aktifis Marsinah dan yang lainnya. Kisah hidup dan perjuangannya tak pernah selesai dijadikan api semangat.
Dari poster, pemikirannya, sampai payung hitam yang berjejer di depan Istana Presiden untuk Kamisan. Ibarat senyawa kimia, Munir adalah atom yang hilang dari satuan molekul.
Kasus meninggalnya Munir memang sudah diusut dan diproses secara hukum, tapi anehnya adalah hukum tidak memproses siapa dan apa saja kepentingan orang-orang di balik terbunuhnya Munir. Padahal hukum di Indonesia baru berlaku bila ada kepentingan di sana.
Salah satu kisah yang saya ingat dari Munir adalah tentang motor tuanya yang sempat dicuri. Jadi, ketika Munir sedang mendatangi rumah kawannya, motor tua itu diparkir di depan.
Setelah urusannya selesai, di luar motor tua itu sudah tidak ada. Memang benar apa yang sering diucapkan Bang Napi, “mencuri bukan hanya karena niat, tapi juga karena ada kesempatan”.
Mungkin orang itu tidak sengaja ingin mencuri motor tua itu. Mungkin juga, orang itu tidak tahu kalau motor tua yang diambil adalah milik Munir.
Munir tidak terlalu mempedulikan motornya yang hilang, karena memang itu hanya titipan Tuhan. Dan, ada yang lebih penting dari itu: memperjuangkan hak banyak umat.
Bayangkan saja, saat ia sedang lantang-lantangnya meneriakan ketidakadilan, ia malah diracun di udara. Siapa dan apa modusnya, segala kasus pelanggaran HAM tidak pernah selesaikan sampai tuntas. Seakan ada yang –dengan sengaja– meredam suaranya supaya diam selama-lamanya.
Saya jadi ingat salah satu puisi yang dibuat Wiji Thukul selama pelariannya itu–yang disusun ulang oleh Tempo menjadi Kumpulan puisi Para Jendral Marah-marah:
Pagi itu kemarahannya disiarkan oleh televisi. Tapi aku tidur. Istriku yang menonton. Istriku kaget. Sebab seorang letnan jendral menyeret-nyeret namaku. Dengan tergopoh-gopoh selimutku ditarik-tariknya. Dengan mata masih lengket aku bertanya: mengapa? Hanya beberapa patah kata keluar dari mulutnya: “Namamu di televisi ……” Kalimat itu terus dia ulang seperti otomatis.
Aku tidur lagi dan ketika bangun wajah jendral itu sudah lenyap dari televisi. Karena acara sudah diganti.
Aku lalu mandi. Aku hanya ganti baju. Celananya tidak. Aku memang lebih sering ganti baju ketimbang ganti celana.
Setelah menjemur handuk aku ke dapur. Seperti biasa mertuaku yang setahun lalu ditinggal suaminya itu, telah meletakkan di sudut meja yang panjang itu, dalam posisi yang gampang diambil. Istriku sudah mandi pula. Setelah berpapasan denganku kembali kalimat itu meluncur.
“Namamu di televisi…..” ternyata istriku jauh lebih cepat mengendus bagaimana kekejaman kemanusiaan itu dari pada aku.**
Ini bukan soal ketidakbecuan penegak hukum di Indonesia. Ini juga bukan soal Joko Widodo yang mengangkat Yasonna H Laoly menjadi Menteri Hukum dan HAM dengan masa lalunya itu.
Tapi, ini adalah soal Pollycarpus yang kelak akan melihat namanya ada di poster yang dibawa orang-orang saat melakukan Kamisan dari layar televisi.
Bersama keluarga, sambil ia menikmati segelas kopi hitam yang hitamnya semakin pekat oleh kesedihan. Barangkali dengan cara seperti itu Pollycarpus akan tahu, betapa tangis duka orang-orang itu, salah satu penyebabnya dilakukan olehnya.
Perpustakaan Teras Baca, 04 Desember 2014
*) Diambil dari esai saya: Sendal Hijau dan Motor Tua Munir
**) Diambil dari puisi Wiji Thukul yang dimuat Majalah Tempo Edisi 13-19 Mei 2013
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H