Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Artikel Utama

Pesan Gelap Pembunuhan di Stasiun Kereta

30 Maret 2015   11:05 Diperbarui: 23 Agustus 2015   04:54 470
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketika itu saya sedang duduk-duduk di tangga Stasiun Tanah Abang. Kadang menunggu kereta membuat saya sedikit bosan. Itu sudah pukul setengah 11 malam, artinya tersisa dua kereta terakhir yang tersisa ke Bogor. Makanya saya menulis cerita ini selagi kereta belum datang.

Tapi tunggu, sepertinya itu biasa-biasa saja. Tunggu…. Ada seorang laki-laki di ujung peron –selurus arah pandangan saya– mengeluarkan pistol dari sakunya dan menembak sendiri ke kepalanya.

Sontak orang-orang yang duduk di bangku peron kaget. Ada yang menjauh ketakutan, tapi ada yang mendekati laki-laki itu dan mengambil gambarnya. Para Satpam berlarian menghampiri sumber suara itu. Dan tak lama, tidak sampai lima menit, mayat itu sudah dikerumuni orang-orang. Dan tak lama, ada pesan masuk ke handphone saya –entah dari siapa. Begini isinya: Kau pasti tahu siapa pembunuhnya?! Ungkaplah!!!

Oia, saya menulis ini di handphone yang hanya cukup menampung 400-500 karakter tiap halamannya, jadi saya mesti menyimpan dulu beberapa, baru bisa melanjutkannya. Lalu, setelah muncul pesan itu, saya lupa menaruh beberapa halaman yang lain. Atau mungkin hilang.

Ada dua hal yang saya tidak pahami. Pertama, kenapa ada pesan masuk seperti itu dari orang yang saya sendiri tidak tahu, dan dalam keadaan yang tepat. Kebetulan, kah? Kedua, sepenglihatan saya tadi laki-laki itu menembakan sendiri dengan pistol ke kepalanya, jadi saya pikir pembunuhnya adalah dia sendiri. Ia bunuh diri.

Selang lima menit, masuk lagi pesan dari nomer yang sama: Percuma baca buku Agatha Christie kalau tidak tahu pelakunya. Apa kau tidak membacanya, dan buku itu hanya sekedar kau bawa?

Saya merasa terganggu –tersinggung, lebih tepatnya. Akhirnya saya bangkit dari tangga tempat saya tadi duduk-duduk. Ikut mengerubungi mayat itu. Mayatnya sudah ditutup koran, di sekitarnya darah yang berwarna merah kental baunya amis sekali. Belum ada petugas kepolisian yang datang ke lokasi kejadian, sehingga satu-satunya barang bukti pembunuhan itu masih diamankan Satpam stasiun.

“Maaf, Pak, boleh saya lihat pistol itu?” tanya saya, sejurus mencari informasi-informasi apa saja yang bisa saya dapatkan.

“Untuk apa?”

“Ah, tidak, hanya ingin tahu saja,” lalu dilihatkannya pistol itu pada saya yang dibungkus plastik. Itu pistol aparat kepolisian. Berseri. Bukan pistol rakitan.

Benarkah mayat ini polisi? Buat apa ia bunuh diri –di tempat seramai ini? Beberapa pertanyaan lainnya berkelebat di kepala saya. Pesan selanjutnya masuk kembali: Kadang, Agatha Christie suka membuat pusing kasus yang ia buat sendiri.

Sama sekali saya tidak ada niat untuk membalas pesan itu. Saya semakin penasaran dengan apa yang diingini pengirim pesan dan apa motif dari semua ini?

Saya coba kembali mengingat apa-apa saja yang telah saya lakukan setelah membeli lima buku Agatha Christie di pameran buku yang harganya sangat murah, sampai saya membuka pembungkus salah satu buku itu di stasiun Palmerah.

Ketika membeli buku itu di pameran memang ramai. Tapi, saya tidak menemukan ada yang aneh yang tiba-tiba –anggaplah saya merebutkan buku Agatha Christie– karena terbatas dengan salah satu pengunjung lain. Karena buku itu tersedia banyak. Saya hanya mengambil satu dari masing-masing buku Agatha Christie yang ada. Orang-orang pun lebih memilih buku-buku resep makanan dan buku-buku perjalanan daripada buku sejenis yang saya beli.

Saya membaca satu buku Agatha Christie yang berjudul Poirot Investigates. Itupun saya pilih secara asal. Seketemunya tangan saya saja di dalam tas. Sembari menunggu kereta dari Palmerah ke Tanah Abang, saya habiskan 59 halaman. Selama di kereta saya tidak lanjutkan membaca, tepat di depan saya duduk ada perempuan yang lumayan cantik yang mungkin lebih enak saya pandangi dari buku itu terlebih dulu. Perempuan itu berambut sebahu. Putih. Jari tangannya dikuteks dengan warna cokelat muda, sama seperti jaket dan celana panjang yang ia kenakan. Hidungnya sedikit mancung. Lengkungan bibirnya seperti buah pisang ketika tersenyum. Di sebelahnya ada laki-laki dengan tas gunung dengan ukuran kecil. Berukuran delapan liter mungkin. Memakai kemeja kotak-kotak dengan lengan pendek. Tapi kalau mereka sepasang kekasih, saya tidak percaya. Meski hanya menduga, mereka tidaklah cocok. Perempuannya terlampau cantik.

Tidak sampai sepuluh menit, kereta tiba di stasiun Tanah Abang. Mereka berdua menuju arah keluar stasiun, dan saya berpindah peron. Sambil dalam hati menyumpah, semoga hubungan mereka tidaklah bertahan lama. Entah ada apa malam itu, sekitar pukul setengah 11, stasiun Tanah Abang sepi. Saya kedapatan duduk di bangku peron. Di sana barulah saya melanjutkan membaca sambil menunggu kereta selanjutnya.

Tapi tunggu, sepertinya saya satu kereta menuju Bogor dengan laki-laki yang tadi saya temui di kereta dari Palmerah menuju Tanah Abang. Secepat itukah Tuhan mengabulkan doa saya?

Sampai keesokan harinya, sambil kembali duduk di tangga tempat saya menulis cerita ini, saya bolak-balik lembar demi lembar buku Agatha Christie sambil mencari petunjuk dari maksud pesan-pasan yang masuk. Saya baca cepat buku Poirot Investigates itu. saya tidak menemukan apa-apa..

Mendadak lampu di atas saya berkedip mati-nyala. Sepertinya rusak. Masuk kereta lokomotif. Berhenti di peron satu dan menyalakan klakson sangat keras dua kali. Lalu, terjadilah penembakan itu.

Pesan itu kembali masuk: Kau tahu, cara detektif ketika bekerja itu seperti kau membaca puisi. Bukan sekedar rima dan metafora, tapi menikmati bunyi-bunyi yang bersembunyi di balik kata-kata.

Barangkali ada beribu alasan untuk saya menghiraukan pesan-pesan itu, tapi saya sama sekali tidak punya pilihan untuk menjalankan barang satu saja alasan. Saya sudah terjebak pada permainan orang yang mengirim pesan itu dan tidak bisa keluar dengan gampang.

Laki-laki yang saya temui kemarin, malam itu kembali saya jumpai. Ia sama sekali tidak ikut dalam kerumunan orang-orang melihat mayat itu yang masih tergeletak di peron. Apa dia yang mengirim pesan-pesan itu? Tapi, dari mana ia bisa tahu nomor handphone saya? Kami baru bertemu dua kali.

Tunggu…, bukankah dia… ah, bukan. Dia bukanlah orang yang pernah saya ajak untuk jadi partisipan di acara televisi yang saya sedang pegang di kantor. Tapi wajahnya tidak asing memang. Ada pesan masuk lagi: Semestinya kau paham, semua kasus yang diselesaikan detektif itu, semua tanda-tanda dari fakta yang ada, bukan dilihat dari kedua matanya, tapi kalbunya.

SIAL!!! Saya seperti dipermainkan. Bukan dilihat dari kedua matanya, tapi kalbunya. Kalimat itu saya ucapkan berulang. Ada pesan yang ingin disampaikan pengirim pada saya. Sial, saya masih belum bisa menangkap maksudnya.

Bukan dilihat dari kedua matanya, tapi kalbunya….

Saya runut kembali apa yang sekiranya berkaitan antara satu fakta dengan fakta lainnya. Pertama, laki-laki yang berdiri di ujung peron, mengeluarkan pistol, dan menembak dirinya. Kedua, suara klakson lokomotif kereta yang bersamaan dengan penembakan laki-laki itu. Ketiga, buku Agatha Christie dan pesan-pesan gelap. Apa mungkin?

Saya balas pesan dari pengirim yang sebelumnya meminta saya untuk mengungkap pembunuhan di stasiun Tanah Abang itu: Sungguh, sebenarnya saya sama sekali tidak ingin mencampuri urusan itu –penembakan di stasiun Tanah Abang. Tapi ketika ranah pribadi saya sudah mulai diusik dengan hal-hal remeh seperti buku yang saya baca, misalnya, saya pikir pemasalah itu menjadi pemasalah saya juga. Betapa bodoh saya tidak menyadari itu sedari awal kalau penembakan itu bukan aksi bunuh diri, melainkan pembunuhan. Artinya ada yang membunuh dan dibunuh. Dan, pembunuhnya adalah, Kau Si Pengirim Pesan! Kau memanfaatkan kereta lokomotif yang setiap harinya, pada waktu tertentu, akan berhenti di peron satu membunyikan klakson untuk membiaskan suara tembakan itu saat lokomotif. Sialnya, saya tidak menyadari kalau Kau menembak laki-laki di ujung peron itu dari belakang saya, yang duduk-duduk di tangga. Saya pikir pembunuhan tidak semata soal niat atau kesempatan, tapi juga faktor kebetulan. Kebetulan sekali laki-laki itu sedang mengeluarkan pistol dari tas untuk dipindahkan ke bagian lain tasnya dan Kau menembaknya. Saya menyadari itu dari luka tembak di kepala korban, mana mungkin ia bisa menembak kepala sendiri dengan pistol tepat di bagian belakang. Kalau ia menembak sendiri kepalanya, mestinya pistol itu masih digenggam, bukan malah terlepas dari tangannya. Itu faktor daya kejut tembakan. Percayalah, saya tidak akan menyerahkan ini ke pihak kepolisian untuk lebih mendalaminya. Namun, ini soal saya menjadi orang yang paling dirugikan bila kasus ini berlanjut. Saya akan menjadi saksi, dimintai keterangannya, dan itu sangat menyita waktu!

Ia, si pengirim pesan, membalas dengan cepat: Selamat!

Ketika saya sedang menyalin cerita ini dari handphone ke laptop, ada telepon masuk. Dari pihak kepolisian. Mereka berterima kasih pada saya, karena pada pagi setelah penembakan di stasiun kereta, ada seorang perempuan menyerahkan diri ke kantor polisi dan mengakui kalau ia yang telah membunuh. Perempuan itu menyerahkan pistol dan telepon genggam sebagai barang bukti. Ia menunjukkan pesan-pesan yang dikirim dan saya kirimkan.

Akan saya ceritakan petemuan saya dengan perempuan itu di penjara ketika menjenguknya. Ia perempuan yang saya temui di kereta dari stasiun Palmerah satu hari sebelum kejadian penembakan itu. Ia berterima kasih. Ia punya alasan untuk membuktikan pada kekasihnya itu, kalau ia sangat serius untuk melajutkan hubungan mereka ke jenjang pernikahan. Ia pernah mengatakan pada kekasihnya, “kalau kamu tidak percaya, aku berani menembak orang lain, yang tidak aku kenal sebagai tanda keseriusan”. Kekasihnya tertawa, “mana mungkin, tidak usah berlebihan,”. Menembak yang perempuan itu maksud bukanlah menembak dalam arti menyatakan cinta, tapi benar-benar menggunakan pistol.

Entah, saya sungguh tidak peduli motif perempuan itu membunuh. Apa pun yang ia ceritakan, saya iya-kan. Bagi saya, kedekatan yang dibangun antara saya dengan perempuan itu jauh lebih mengesankan. Saya jadi sering menjenguk perempuan itu ke penjara. Membawakannya makanan, buku-buku bacaan, dan lain-lain. Begitu setiap hari. Sampai akhirnya ia dieksekusi mati.

 

Perpustakaan Teras Baca, 30 Maret 2015 | ilustrasi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun