Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Melamun di Sungai dan Buang Air

16 Juli 2016   20:43 Diperbarui: 23 Juli 2021   20:06 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sungainya deras. Di sini pula rindu berbalas. (Sumber Foto: Harry Ramdhani)

Akhirnya saya pulang kampung. Maksudnya, ikut pulang ke kampung Gopah di Cirebon. Dulu hanya sekali saya kemari dan hari ini saya kembali. Barangkali sewaktu saya masih seumur Peang, atau lebih sedikit. Lama sekali. Tidak ada yang saya ingat; tidak ada yang bisa saya kenang dari kedatangan pertama kala itu.

Saya tidak suka mudik. Tidak suka berpergian, maksudnya. Atau, lebih tepatnya: tidak suka bertemu banyak orang. Untuk itulah setiap lebaran kami selalu di rumah. Jika ingin pulang kampung, paling hanya Gomah ke kampungnya menemui ibunya. Namun, Gopah sesekali saja, jika ada urusan tertentu.

Saya udik sekali. Menjadi asing di tempat yang menang asing. Sampai seseorang menghampiri saya. Sudah tentu saya tidak kenal. Begitu juga sebaliknya. Ia menyalami Gopah dan Gomah, kepada saya hanya menyimpulkan senyum. Saya balas senyumnya, a la kadarnya.

Kami masuk ke sebuah gang kecil. Mobil parkir di luar, di tepi jalan; mempet dengan halaman rumah orang. Jalan utama pun tak terlalu lebar. Cukup untuk dua mobil.

Orang-orang keluar dari dalam rumah dari gang itu. Kami menyalami. Tidak ada yang saya kenal, barangkali begitu juga sebaliknya. Tangan kiri saya menggenggam tangan Peang, sedangkan yang kanan untuk salaman.

Kedatangan saya dan keluarga untuk tahlilan ke-40 hari kakaknya Gopah yang pertama. Saya sudah tak punya kakek dan nenek dari Gopah. Sudah lama tiada. Bahkan saya belum sempat melihat Kakek. Kalau nenek, pernah, waktu kedatangan saya yang pertama.

Bersama Peang, saya sekadar duduk-duduk di teras. Peang kesal karena telah dibohongi. Gopah bilang mau ke kebun binatang. Peang minta jalan-jalan sebelum lusa dia masuk sekolah SD. Mukanya cemberut. Saya jahili. Peang marah. Saya tertawa.

Orang yang tadi menghampiri kami di ujung jalan keluar dari rumah. Ia menepuk pundak saya.

"Yaampun, ieu teh Harry? Sugan urang saha,"

Saya hanya mengangguk dan membalas senyum.

"Tos lila teu kadieu," lanjut orang itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun