[caption caption="Puisi "Aku Ingin" dalam buku puisi Hujan Bulan Juni, Sapardi"][/caption]
Sajak-sajak Sapardi, sudah banyak memetamorfosis menjadi bentuk yang beragam. Ada yang menjelma lagu, lalu dijadikan komik, kini sudah ada yang dibuatkan menjadi sebuah novel, dan kelak –konon katanya– akan difilmkan. Saya pikir, begitulah karya yang baik, tidak terjebak dalam satu ruang. Sebuah karya ditakdirkan justru untuk mengisi ruang-ruang yang kosong.
Barangkali tidak perlu jauh-jauh, sajak-sajak Sapardi kerap ditemui di buku sehimpun gombalan yang dicomot begitu saja tanpa mencantumkan nama Sang Tuan. Atau, dalam bentuk meme yang kerap dimuat di sosial media, bahkan kadang-kadang sajak Sapardi terselip di antara sederet pesan singkat seseorang yang tengah PDKT. Pasti. Pasti ada, walau dalam rupa yang berbeda.
Ketika rampung membaca sepilihan sajak Sapardi, Hujan Bulan Juni –yang baru-baru ini diterbitkan Gramedia itu– tiba-tiba terbersit sebuah pertanyaan dalam pikiran: lebih banyak mana, orang yang sedang jatuh cinta atau patah hatinya?
Entahlah, tapi membaca satu persatu sajak demi sajak Sapardi, saya seakan melihat ketimpangan realaitas.
Hujan Bulan Juni sebenarnya sudah pernah diterbitkan pada tahun 1994 oleh Grasindo. Di buku puisi itu, termuat pula sajak-sajak yang pernah Sapardi buat seperti duka-Mu abadi (1969), Mata Pisau (1974), Akuarium (1974), dan Perahu Kertas (1984). Namun, berkat dorongan orang-orang terdekatnya, Sapardi kembali mengkurasi puisi-puisinya kembali sebelum dicetak ulang. Penyair, menurut Sapardi, adalah pembaca pertama puisi-puisinya. Sehingga dicetakan terbarunya ini ada banyak perombakan: ada beberapa sajak yang dipotong beberapa larik, ada sajak yang mesti ditambahkan demi kebutuhan penggambaran wujud puisinya, sampai membenarkan beberapa kata yang typo karena salah cetak. Dan akhirnya, terkumpul 102 sajak yang termuat.
Dari dahulu Sapardi tidak pernah ada habisnya membincang cinta pada karyanya. Sebab begitulah mungkin manusia diciptakan: untuk saling cinta-mencintai. Sebagai contoh, puisinya yang berjudul “Aku Ingin”. Puisi ini, entah bagaimana proses kreatifnya, seakan dapat mendobrak pintu yang terkunci dengan cara halus. Amat halus. Aku ingin mencintraimu dengan sederhana: / dengan kata yang tak sempat diucapkan / kayu kepada api yang menjadikannya abu. // aku ingin mencintaimu dengan sederhana: / dengan isyarat yang tak sempat disampaikan / awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Puisi “Aku Ingin” dibuat tahun 1989. Lihat, betapa sudah berumur sajak itu. Namun inilah yang membuat saya ketika selesai membaca itu terjadi ketimpangan realitas. Sepakat atau tidak dengan pendapat saya, silakan, tapi sepenglihatan saya sekarang malahan orang-orang lebih memilih bahagia hidupnya daripada penuh cinta. Buktinya, di jagat Twitter yang muncul adalah tagar #BahagiaItuSederahana.
Mungkin sepintas yang terlihat hanya semacam “plesetan” dari aku ingin mencintaimu dengan sederhana menjadi bahagia itu sedehana. Namun apa boleh buat, barangkali orang-orang yang ingin bahagia itu, adalah mereka, sekumpulan orang-orang yang terlanjur patah hati sehingga tidak lagi memilih cinta untuk menjalani hidupnya. Ditempat lain, orang-orang yang memilih bahagia ini memang have fun saja dalam pekerjaan yang digelutinya, tapi bila pada suatu titik ia tidak lagi bahagia, maka akan mencari dan terus mencari apa yang membuatnya lebih bahagia. Faktor uang, misalnya. Akan menjadi jauh berbeda dengan orang yang mencintai pekerjaannya, ia tetep bersamanya meski pekerjaannya membuatnya seperti awan kepada hujan yang menjadikannya tiada.
Tapi sepilihan sajak Hujan Bulan Juni, bagi saya tetap penting keberadaannya. Jika sebuah sajak tidak mampu mengubah sesuatu, maka posisiakanlah sebuah sajak menjadi alat komunikasi semata. Bagi Sapardi, puisi itu medium, dan medium itu dukun (lihat novel Hujan Bulan Juni, hal. 4), yang bisa menyampaikan pesan tanpa perlu dikirim layaknya shaman.
Perpustakaan Teras Baca, 2015