Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Imajinasi yang Terkatakan, yang Tidak Terkotakkan

29 September 2016   12:01 Diperbarui: 29 September 2016   22:32 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi sampul eBook #Jilid4: Maje

Semestinya yang saya buat adalah buku (digital) ini berisikan esai-esai saya selama bulan Juni lalu. Tapi karena satu dan lain hal, pada akhirnya saya percaya: perubahan besar bermula dari hal-hal yang kecil.

Ada dua kejadian hari itu: pertama, saya menunggu di perpustakaan sekolah adik saya saat sedang mengikuti pelajaran tambahan; kedua, ketika membuat rak kliping rubrik sastra Harian KOMPAS di perpustakaan Teras Baca. Itu semua yang mengantarkan saya pada sebuah diskusi ringan tentang "seberapa pentingnya ruang publik seperti perpustakaan umum?"

Tentu itu terkait dengan pembubaran beberapa perpustakaan umum oleh aparat yang belum lama ini terjadi. Diskusi itu antara saya dengan kedua orang kakak-adik kembar, laki-laki dan perempuan (sungguh, ini kali pertama saya bertemu langsung dengan orang kembar yang berbeda jenis kelamin) yang tidak saya kenal dan tiba-tiba menguhubungi dan datang ke Perpustakaan Teras Baca. Seruni dan Seraya, namanya.

Akhir diskusi itu kami sepakat: konyol. Entah kekonyolan macam apa yang membubarkan orang-orang yang tengah menjajakan buku lalu dikait-kaitkan dengan aksi genk motor atau apalah yang tidak ada hubungannya sama sekali. Namun, ketika saya sedang membenahi kliping rubrik "Anak" harian KOMPAS, Seraya bertanya: di sini ada buku-buku anak?

"Ada," jawab saya. Walau tidak banyak, itu pun kebanyakan majalah BOBO edisi lama. Bentuknya sudah tidak terlalu baik, memang.

Kemudian saya bercerita tentang ketersediaan buku di perpustakaan sekolah adik saya. Di sana amat sedikit buku-buku cerita. Padahal, seingat saya, sewaktu Pak Anies Baswedan menjabat sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, diwajibkan 10 sampai 15 menit sebelum kegiatan belajar-mengajar dimulai, setiap siswa membaca karya sastra.

Hanya ada dua meja yang tidak saya tahu untuk apa. Lalu, satu meja tenis yang dibiarkan terbuka dengan dua bidak catur, lengkap dengan pion-pion yang tersusun rapih dan siap dimainkan. Anehnya, di perpustakaan sekolah adik saya itu selalu terpampang papan bertuliskan "Tutup".

Saya tidak ingin menyalahkan. Sebagaimana Seraya dan Seruni, akhirnya kami sepakat untuk membuat buku cerita anak. Tentu berbentuk buku digital. Seruni dan Seraya pun tahu kalau tiga tahun belakangan ini saya dan Perpustakaan Teras Baca membuat eBook.

Seraya dan Seruni bersedia menulisnya. Saya bersedia menyuntingnya. Walau kami tidak tahu nanti bagaimana hasilnya. Walau kami tidak tahu bagaimana nanti mendistribusikannya supaya anak-anak membacanya. Tapi, Seruni akhirnya mengatakan, "dibuat saja dulu, nasib buku akan selalu begitu,"

Ya. Saya sepakat untuk itu.

Ternyata Seraya dan Seruni sudah memiliki beberapa naskah cerita anak. Beberapa dikirim ke saya dan beberapa lainnya mesti ditulis ulang oleh mereka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun