Semula saya ceritakan ini pada Arra. Saat itu hujan sedang deras-derasnya, listrik padam dan Arra malah meminta saya bercerita. Itu bukan saat yang tepat saya kira, sebab masih ada hal lain yang bisa dilakukan, bukan?
Arra masih merengek minta diceritakan satu kisah. Apa saja. Rokok hanya tersisa tiga batang dan stok bir di lemari pendingin tinggal satu --itupun kalengan. Dengan berat hati saya ceritakan.
Kepalanya mulai bersandar di bahu saya.
Cerita saya awali dengan kalimat ini, "Kehidupan di kereta, kamu tahu, sama seperti di Amerika Latin, semua yang kamu anggap tidak mungkin bisa menjadi nyata!" Arra mengangkat kepalanya, lalu mengernyitkan dahi.
Tidak mungkin, kata Arra. Lagi, sekadar itu tanggapannya. Datar dan tak ada antusiasnya sama sekali. Baginya, tidak mungkin sebuah kecelakaan, apalagi di kereta, bisa terselamatkan hanya dengan sepasang doa. "Itu semua mustahil," tegasnya.
Arra sama sekali tidak percaya pada apa yang saya ceritakan. Itu malam yang tidak pantas diulang. Mengingatnya saja saya enggan. Oleh karenanya saya tuliskan apa yang saya ceritakan pada Arra malam itu:
***
Seorang lelaki tidur amat lelap dengan mata yang terjaga, terbuka. Sambil didekapnya tas hitam selempang. Seperti memeluk seseorang dan tidak ingin dipisahkan. Ewok duduk tepat di seberang lelaki itu. Suara mendengkurnya terdengar. Hanya lelah yang sangat mampu membuatnya begitu, batin Ewok ketika itu.
Bisa dibilang malam itu kereta cukup sepi. Tidak ada satu orangpun berdiri, kecuali kondektur yang pura-pura sibuk: sekadar bolak balik; ke sana, lalu ke mari. Dengan mata dan kantuk yang tanggung, Ewok mengeluarkan pemutar musik dari dalam tasnya. Ada lagu baru yang ingin ia dengar.
Kereta melaju cepat. Malam itu sepi seakan dibawa ikut pergi. Mata Ewok terpejam, kepalanya mendengak ke atas, disandarkan di jendela.
***