Saya kira ketika buku dan media sosial disandingkan, lalu dibanding-bandingkan, apalagi sampai diperdebatkan, maka di situlah lahir satu permasalahan. Misal: bagaimana buku mampu bersaing dengan media sosial? Apa mungkin media sosial bisa menggantikan peran buku?
Oleh karenanya, perihal buku dan media sosial akan sangat menarik bila didiskusikan. Tentu dengan kepala dingin dan hati yang lapang. Saya tidak berada dipihak pro-buku maupun pro-media sosial. Alasannya sederhana: saya membutuhkan buku untuk menambah wawasan, sedang media sosial saya gunakan untuk caper kutipan-kutipan inspiratif nan motivatif dari buku yang saya baca menambahkan apa yang tidak saya dapat dari buku.
Kenikmatan berdiskusi, bagi saya, seperti membaca puisi: mampu melahirkan banyak interpretasi, sehingga bisa dilihat dari banyak sudut pandang. Dan diskusi, saya kira, tidak melulu butuh jawaban. Malah ketika jalannya diskusi, jawaban kadang berupa pertanyaan.
Buku dan sosial media menjadi topik yang coba diangkat pada diskusi kamisan yang rutin digelar oleh Komunitas Penulis Penerbit Buku Kompas. Tema yang diskusikan pun menarik, Buku Vs Media Sosial: Membangkitkan Selera Literasi untuk Dunia.
Akan saya coba ilustrasikan mengenai perseteruan buku dan media sosial.
Ketika sedang dalam perjalanan menggunakan kereta, mana yang sering lebih kamu temui: penumpang yang bermain media sosial atau khusyuk membaca buku? Saya lebih sering dapati yang pertama. Pertanyaannya, apakah mereka yang bermain media sosial di kereta itu salah? Saya kira tidak. Bila persentasenya lebih dari 90%, barangkali justru orang yang membaca buku di kereta adalah yang salah. Salah tempat, paling tidak.
Namun akan menjadi masalah bila orang-orang yang bermain media sosial di kereta kemudian dicibir dengan nuansa kebencian.
Seorang Filsuf kenamaan pada era-Romawi Kuno, Marco Tullio Cicerone, pernah mengatakan begini: “Sine libris cella, sine anima corpus est.” (Rumah tanpa buku, ibarat tubuh tanpa jiwa). Jadi, siapa tahu orang-orang yang bermain media sosial itu, sebelum naik kereta, di rumah habis membaca beberapa judul buku. Hanya secara tidak sadar dan sabar, membagikan kepada handai taulan sekalian sedang pada posisi di kereta.
Ada dua tempat membaca yang menyenangkan untuk saya: perpustakaan dan kereta. Itu pandangan positif saya kepada mereka-mereka yang asyik sekali bermain media sosial di kereta. Pandangan negatifnya, mbok ya kalau mau mengabarkan selingkuhan itu tidak di kereta, semua yang di dekatnya bisa baca. Ingat pasal 1 ayat 1 tentang perselingkuhan: JAUHI KERAMAIAN.
Pada tahun 1955, Rudolf Flesch membuat buku dari kumpulan esainya dengan judul “Why Ruddy Can’t Read”. Rudolf saat itu mengkritik pemerintah bahwa hampir semua masalah membaca di Amerika Serikat adalah hasil dari sebuah konspirasi antara pihak pendidik dan penerbit untuk menahan instruksi pengajaran phonics dari siswa. Konspirasi Phonics.
“I will admit that the book is doubtless quite unscientific... but then, Uncle Tom's Cabin was not exactly a documented sociological treatise. When a public problem exists, it has to be presented in a way the public cannot only understand, but take notice of. And the fact is that, with all too few honorable exceptions, American education has gone to hell in the proverbial handbasket....” (“Why Johnny Can’t Read,” - Rudolf Flesch, 1955a).