Mohon tunggu...
Harry Ramdhani
Harry Ramdhani Mohon Tunggu... Teknisi - Immaterial Worker

sedang berusaha agar namanya di (((kata pengantar))) skripsi orang lain. | think globally act comedy | @_HarRam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Barangkali Kita Kurang Saling Bertukar Cerita

19 Juli 2015   22:01 Diperbarui: 19 Juli 2015   22:01 1622
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Barangkali kita terlalu sibuk memotret apa yang ada di hadapan kita, makanan kita, hanya untuk sekedar diunggah ke sosial media dan menunggu respon pengikut kita supaya meninggalkan komentar atau apa, karena apa yang kita makan itu seakan makanan unik nan-langka –yang tak bisa didapat sembarang orang. Makanan yang diunggah itu, sengaja dibuat agar dapat mempresentasikan diri kita pada khalayak. Akibatnya kita lupa, ada sebagian dari entah siapa yang masih mengunyah bubur sagu sehari-harinya yang hanya dimasak menggunakan kayu di atas tunggku.

Barangkali juga, kia lebih ingat tanggal-tanggal merah di kalender untuk segera mengumpulkan uang, mencari paket liburan, lalu mengajak teman-teman kita yang sepertujuan untuk ikut bersama-sama bersenang-senang. Foto-foto di puncak gunung sambil menuliskan nama pasangan kita bersama dengan tinggi permukaan, melupakan sejenak pekerjaan di kantor, atau sekedar mencari senja yang tidak kita dapat di tengah keriuhan ibu kota.

Barangkali kita baru sadar ketika melongok denah peta di akun kita. Sehari-hari kita ternyata ada di antara gedung-gedung, pojokan cafe, atau di teras rumah mantan – ngobrol ngalor-ngidul dan berharap si mantan mau diajak balikan.

Barangkali, ya, kita lebih menaruh porsi lebih terhadap surat kabar pada berita-berita politik yang penuh sekali intrik itu sehingga lupa: tiap akhir pekan pun surat kabar memberi ruang –walau ada di halaman sedikit belakang– sastra yang berisikan cerita pendek dan puisi. Dulu, tahun lalu tepatnya, surat kabar nasional pernah memuat cerita pendek guratan seorang prosais, Agus Noor. Kalung, judulnya. Cerita cinta, memang, tapi tokoh utamanya adalah sepasang kekasih yang saling berbeda keyakinan. Begini tulisnya, saya akan kutip utuh biar jelas: Ketika api itu membakar masjid, kami pun tahu, kota ini akan terbakar. Sebab kemarahan selalu membuat api menjadi lebih cepat menjalar. Kebencian membuat api menjadi lebih sulit dipadamkan. Kami tahu siapa yang menyalakan api. Mula-mula perkelahian terjadi di lapangan seusai sholat id. Mungkin anak-anak muda yang mabuk. Mungkin kelompok yang saling olol-olok. Tapi mungkin juga ini dendam yang bertahun-tahun disimpan dalam sekam.

Barangkali, mungkin kalau boleh menduga, kesibukan telah menelan kita mentah-mentah. Sudah jarang kita bisa duduk barang sejenak sambil mencecap segelas kopi di warung kopi yang berukuran minim, hanya 2x3 meter persegi barangkali dan di kelilingin gedung-gedung yang tengah dibangun. Tak peduli warung kopi itu kecil dan ditinggali juga tikus yang dilempari gorengan malah ditangkap kemudian dibawanya pergi. Setidaknya di warung kopi itu kita bisa saling bertukar cerita. Ingat ada slogan ini pada sebuah iklan di televisi, kan: mari ngopi, mari bicara.

Barangkali kita bisa sedikit mencontoh suku Bhusman. Suku itu berada di daerah perbatasan Botswana, di Afrika. Jauh, memang, tapi bukahkah demi kebaikan itu tidaklah jadi persoalan? Suku itu adalah suku yang rakyatnya masih belum bisa baca-tulis, bahkan ada yang belum mengenal tulisan. Namun kehidupan di sana jauh lebih tentram. Tidak ada pertempuran, konflik, dan yang mesti ditegaskan ialah, hidup mereka damai. Mau tahu alasannya? Mereka, suku Bhusman, suka bertukar cerita. Jadi ditiap malam, atau di sebuah perayaan, mereka berkumpul di satu tempat, membuat lingkarang besar, dan di tengah mereka ada api yang dinyalakan. Kemudian, masing-masing dari mereka menceritakan apa saja: entah kenangan, keresahan, atau kebodohan temannya yang selalu disambut dengan gelak tawa. Saat acara tersebut berlangsung, terjadilah kehangatan sesama mereka karena saling mendengar cerita satu sama lainnya. Dan itu,jauh lebih hangat dari pelukan yang pernah kalian dapat dari mantan. Menurut Zen RS, storytelling memastikan spesies manusia itu berbeda dengan binatang.

Barangkali begitu yang suku Bhusman dengan menjaga kebudayaan dan terhindar dari kepunahan– selain dengan berhubungan intim. Ya, namun di Indonesia pun ada hal serupa, di tanah Papua, MOP, kata teman kuliah saya dulu. Saya pernah diajak mereka, tapi bukan ke Papua, hanya ke perbukitan di belakang kampus. Tengah malam kami berangkat, sesampainya di sana, mereka membuat api unggun. Barulah setelah itu mereka memulai MOP. Meski tidak begitu jelas apa yang mereka ucapkan, saya ikut tertawa. Karena MOP biasanya adalah cerita-cerita lucu khas Papua. Kelucuan memang lebih mudah ditularkan ketimbang kebencian.

Barangkali, kata Sapardi dalam puisinya, Tuhan sedang mengawasi kita dengan curiga karena selalu gagal berdoa....

Perpustakaan Teras Baca, 2015

*) Keterangan Gambar: Warga Papua memainkan Ukulele

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun