Akan tetapi, hari itu akhirnya datang juga. Kamis sore, saat ibu-ibu sedang ngumpul di depan rumahku, Bunny tiba-tiba minta digendong Gomah.
Bunny memang seperti itu, jika sedang ada maunya, maka orang pertama yang dicari pasti Gomah.Â
Bunny ikut nimbung dengan ibu-ibu yang lain. Ia lompatan-lompatan di dekat kaki Gomah. Gomah mengangkatnya, ditaruh di pundaknya. Dari teras rumah, aku melihatnya. Bunny juga membalas tatapanku.
Ah, aku masih ingat kejadian itu. Damnit. :(((
Entah kenapa, tiba-tiba Bunny lompat dari pundaknya Gomah. Biasanya, dia akan langsung lari atau apalah setelah mendarat itu. Tapi untuk kali ini tidak. Justru kepala yang sampai di bawah.
Suaranya cukup keras, aku langsung bangkit dari teras dan menghampiri suara tadi. Bunny mati.
Tidak. Bunny tidak merasa kesakitan dulu. Bunny tidak memberiku waktu, barang sedikit, untuk membawanya atau merawatnya dari sakit itu dan mengharapkannya sembuh. Bunny langsung mati.
Tubuhnya lemas. Badannya sangat enteng. Aku membopong mayat Bunny ke dalam rumah. Aku letakan di meja teras dan coba memain-mainkan mulutnya.Â
Aku masukan jariku ke mulutnya. Aku suka ngisengin Bunny dengan seperti itu. Dia akan coba menggigitku. Kalau sedang ada maunya, Bunny justru akan menjilatinya.
Tapi, tidak sore itu. Bunny tidak coba mengigit jariku, tidak juga menjilatinya. Mulutnya terbuka dan tidak tertutup lagi.
Aku meninggalkan Bunny, sebagaimana Bunny meninggalkanku. Aku ke kamar dan menangis. Sebelum magrib, Gopah sama Gomah sudah mengubur Bunny. Aku tidak ikut. Aku tidak kuat. Aku masih di kamar dan menangis.