Karena yang sering terjadi justru orangtua yang mendatangi teman anaknya ketika anaknya pulang ke rumah dalam keadaan menangis atau terluka. Mereka tidak terima perlakuan teman anaknya. Anaknya pulang, mengadu pada orangtuanya, kemudian terjadi keributan antar-orangtua.
Para orangtua ini merasa tidak terima anaknya diperlakukan seperti itu, meski disaat yang bersamaan, mereka tidak ada ketika anaknya bermain.
Biasanya. Bisa saja aku keliru. Mungkin itu yang sering aku lihat, berbeda dengan di tempat lain: di mana dunia sudah memberikan tempat yang layak dan baik untuk anaknya bermain dengan damai dan penuh canda-tawa.
***
Semakin sering anak-anak yang main di lapangan ketika aku, lewat Perpustakaan Teras Baca, pernah mendapat bantuan dari Pemda saat tempatku ingin dijadikan kawasan percontohan layak anak. Barangkali ada yang ingat program tersebut?
Jadi dulu, ketika aku dan teman-temanku baru membangun Teras Baca, aku dipanggil oleh Pak RW. Katanya di sana mau dijadikan kawasan layak anak. Lalu, aku diajak untuk mendapat arahan serta apa saja yang mesti diperiapakan untuk itu. Aku setuju.
Bantuan dari Pemda datang, termasuk peralatan bermain anak yang kerap kita lihat di Taman Kanak-kanak. Perosotan, ayunan, dan lain sebagainya.
Semua mainan kupasang. Anak-anak makin ramai yang memainkan. Semakin banyak anak-anak yang main, maka semakin besar juga peluang untuk mereka saling berantem.
Jika aku sedang kebagian jaga perpus, ada saja anak kecil yang nangis karena tidak kebagian main atau mainan di sana dikuasai oleh anak kecil yang lebih tua usianya. Lama-lama, dari tempat main malah jadi tempat anak-anak menangis.
Faktanya: setiap kali ada anak yang menangis, tidak pernah ada orantuanya -atau keluarga- yang menemani.
Jadi, kalau orangtuanya saja tidak peduli, maka urusanku apa? Adakah tanggungjawab atau kewajibanku untuk mempedulikan anak-anak mereka?