Entah mengapa, dari tumpukan buku di rumah, saya mengambil satu buku untuk saya baca di kereta. Saya ambil asal saja dan yang terbawa adalah "Corat-coret di Toilet". Saya masukkan ke dalam tas dan saya berangkat.
Membaca cerita-cerita Eka Kurniawan dibuku "Corat-coret di Toeilet" saya kira adalah usaha menjaga rasa penasaran saya terhadap novel terbarunya "O" --yang sampai sekarang belum juga rampung dibaca.Â
Sebab, barangkali cerita Corat-coret di Toilet adalah ikhwal gaya menulis Eka Kurniawan yang kita kenal sekarang. Banyak sekali fragmen-fragmen yang disusun yang satu sama lainnya terkait dan mengaitkan.
Pada cerita Corat-coret di Toilet, dikisahkan betapa veodalime bisa terjadi di sembarang tempat, termasuk di toilet. Toilet yang baru saja dibersihkan dan dicat ulang.
Corat-coret di toilet, pada hakikatnya, adalah bentuk paling purba dari media sosial kita hari ini.
Sebab corat-coret itu, kadang penting atau tidak, terkadang memang mesti kita keluarkan dalam bentuk apapun --atau tulisan, misalnya.Â
Dan lalu, corat-coret juga punya arti penting dalam sejarah kemerdekaan Indonesia.Â
Sebagai contoh, yang kemudian dilakukan oleh pemuda Indonesia ketika baru merdeka, ketika itu, adalah membuat corat-coret di tembok-tembok sepanjang mereka bisa temui. Dari yang bagus sampai yang tak terbaca sekalipun. Coretannya seperti ini: Freedom Indonesia --dan lain sebagainya.
Intinya: mereka ingin memberitahukan bahwa Indonesia telah merdeka. Tapi, yang mereka tidak tahu: pada masa itu hanya sedikit orang Indonesia yang sudah melek huruf.
Jadi, sebanyak apapun coretan, meski bagus, tidak ada yang membaca.
Itu sama halnya dengan orang yang suka foto-foto buku di media sosial, tapi tidak tahu buku yang ia baca itu apa. Eh~