Malah di komplek rumahku, wilayah RT yang punya lapangan bulutangkis, punya klub masing-masing. Setiap tahun suka ada kompetisi antar-RT yang mana, secara tidak langsung, adalah kompetisi antar-klub. Siapapun yang bertanding dalam kompetisis tersebut, selalu RT-ku yang jadi juara. Pedahal kami tidak punya lapangan bulutangkis, adanya lapangan basket.
***
Kini aku coba memahami sekaligus memaklumi: bahwa ada orangtua berharap anaknya, kelak, menjadi atles bulutangkis besar di Indonesia. PB Djarum bisa memfasilitasi itu dengan menggelar kompetisi. Dan hasilnya, Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia (PBSI) bisa mendapat stok atlet-atlet muda terbaik dari itu.
Bagus sebagai perjalanan karir calon atlet Indonesia, tetapi tidak baik secara sistem pusat kepengurusan.
Sebagai lembaga yang mengurusi itu jadi punya ketergantungan atas ketersediaan calon-calon atlet. Mereka tinggal datang ke sebuah audisi atau kompetisi bulutangkis, kumpulkan yang terbaik, seleksi, dan pilih.
Padahal, belum lama ini, kita pernah dikagetkan oleh seorang yang memutus pola tersebut dengan caranya mencari sendiri, berkeliling Indonesia, memilih pemain muda sesuai apa yang ia butuhkan. Indra Sjafri, namanya. Hasilnya: tim yang ia bangun tersebut keluar sebagai juara di Asia untuk pertama kalinya.
Itu memang sepak bola. Tapi, maksudku, apa sih bedanya sepak bola dan bulutangkis di Indonesia? Kedua olahraga ini bukan hanya populer di masyarakat, lebih dari itu, bahkan bisa sebagai jati diri. Berlebihan? Mungkin~
Jadi, korelasi antara tidak adanya audisi yang tidak akan digelar lagi tahun depan denga  ketersediaan calon-calon atlet terbaik sungguh jauh.
Jika memang momen ini bisa lebih memecut semangat para pengurus, memang sudah saatnya. Toh, kita juga sudah ada contohnya, Indra Sjafri. Amati, tiru, dan modifikasi.
Hormat saya, seorang pria yang punya selera.
Oia, btw-btw rokoknya Pramoedya Ananta Toer itu Djarum Super lho~