Sampai hari ini (24/07) hukum qanun keluarga di Aceh masih dalam pembahasan. Qanun tersebut, di antaranya, tersurat membahas atas poligami yang dilegalkan alias mendapat payung hukum.
Namun, pada hari yang sama, sampai sekarang (24/07) aku masih tidak percaya: bahwa ada seorang istri dengan begitu berani --atas hal-hal yang ia rasakan-- sampai hati membacok suaminya. Tentu itu tindak kriminal. Tapi perlakuan suami kepada seorang istri yang terus-terusan minta jatah ewita padahal istrinya baru saja melahirkan juga sama sekali tidak bisa dibenarkan. Itupun sama kriminalnya!!
Karena ketidakpercayaan itu pula yang membuatku mesti bangun pagi (24/07), lalu main basket barang sebentar, sembari mendengar lagu-lagu baru Iggy Azalea untuk menyemangati, setelah itu mencari buku ke perpus Teras Baca.
Buku yang kucari itu judulnya "Menyemai Harapan". Buku lama, terbit tahun 1988. Ditulis oleh penulis perempuan kesukaanku: Maria A. Sardjono.
Awalnya buku tersebut --dan, Saman yang ditulis Ayu Utami-- adalah caraku untuk menertawakan (setiap momen) pernikahan. Tapi, karena 2 peristiwa di atas, tawa itu perlahan hilang.
Begini.
Premis besar buku "Menyemai Harapan" adalah kisah Dewi yang lahir dari keluarga yang melakukan poligami. Sejak usia 5 tahun, ia bersikeras kalau kelak hal tersebut tidak menimpa juga oleh dirinya.
Namun, takdir berkata lain. 20 tahun setelah itu, beberapa hari jelang pernikahannya, ternyata calon suaminya tersebut menikah dengan perempuan lain.
Dengan berbagai pertimbangan, Dewi tetep melangsungkan pernikahan.
Pada bagian inilah Maria A. Sardjono membahasnya pada chapter 4 dalam buku "Menyemai Harapan".
Tentang bagaimana Dewi bersikap dan menyikapi poligami. Tentang bagaimana posisi perempuan yang dipoligami. Tentang lelaki yang selalu ingin menang dalam relasi hubungan suami-istri.