/1/
Kutanggalkan kedua tanganÂ
tepat menempel denganÂ
daguku. Di sana, tempat penampunganÂ
airmata bercucuran.Â
NamamuÂ
ialah, warta yang selaluÂ
hadir dalam tiap-tiap doaku.Â
Dan Tuhan, barangkali bosan mendengarkan itu.Â
Di peraduan rindu,Â
di sela-sela jemariku, kauÂ
menimbun sisa-sisa kenanganÂ
yang teramat sulit kubenamkan.Â
Malam pada satu waktuÂ
hujan,Â
tak ada istimewaÂ
selain rindu dan kenanganÂ
membunuhÂ
masa lalu,Â
tumbuhÂ
duka baru.Â
/2/
Kenangan,Â
berjalan perlahan dari malam ke malam,Â
dari dendam ke semenanjung kepulangan.Â
Subuh itu, khotbah Khotib dengan lantangÂ
dari mimbar masjid mengiringiÂ
langkah kaki 'tuk kembali.Â
; menuju pelukan yang menenangkan.Â
tunas-tunas pohon kini menjulang; menantangÂ
langit, jalan dilumuri aspal abu-abu.Â
Di perjalanan pulang,Â
rindu ini mengebu-gebu.Â
/3/
Bagi para penyair, Ibu,
tanganmu tak ayal samudra biru
yang tak kenal dasar, yang tak kenal tepi
yang tak (lagi)... aku kenali.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI