Ada momen filosofis ketika tirai Warteg (Warung Tegal) dibuka oleh penjualnya dan disajikan kepada pembelinya. Proses singkat itu, tentu saja, ada dalam satu perhitungan antara apa yang kita suka, yang kita inginkan dan kemampuan kita membayarnya.
Kadang memang tidak sesuai harapan, tapi ketika penjual sudah menyajikannya kepada pembeli, itu menjadi pilihan terbaik.
Warteg adalah cerminan hidup. Kehadirannya menandakan: manusia memang sejatinya sebagai makhluk sosial; yang hidup dan menghidupi. Ia juga bukan sekadar warung tempat makan, tapi Warteg bisa menjadi indikator ciri kelas sosial; itu bisa dilihat dari apa yang dipesan --meski tidak selalu.
Menariknya, kerap kali ramai-tidaknya Warteg tidak ditentukan oleh rasa masakannya, tetapi posisi strategisnya. Semakin mudah akses pembeli menuju Warteg bisa menjadi faktor X tersebut.Â
Apalagi jika menilik pemikiran Montanari dari buku Food is Culture bahwa rasa, katanya, merupakan produk budaya yang terbentuk dari hubungan makanan dengan ruang-ruang geografis, bahasa dan identitas.
Jadi jika dimaksukan dalam konteks ini, lokasi Warteg bisa menjadi penentu utama. Misalnya, Warteg yang ada di pinggir jalan raya tidak akan seramai Warteg yang ada di sekitaran kawasan pabrik-pabrik.Â
Namun, apakah Warteg benar-benar tidak melulu soal rasa masakannya? Seorang gastronom asal Prancis, Jean Anthelme pernah merumuskan fisiologi rasa. Menurutnya, rasa adalah indra yang terhubung dengan sensasi kenikmatan; di mana tubuh menyadari sensasi itu sendiri.
"Sebagai perangsang selera, lapar dan haus, rasa adalah dasar yang menghasilkan bagaimana individu bertumbuh, berkembang, merawat dan membenahi kehilangan-kehilangan (atas makanan yang sebelumnya dikonsumsi) sebagai akibat dari perubahan vital," katanya dari buku Sri Owen yang berjudul New Wave Asian: A New Look at Southeast Asian Food.
***
Jika melihat perkembangan Warteg sekarang ini, ada baiknya melihat kehadiran-kehadiran Warteg tersebut dan menerka mengapa bisa bertahan, berkembang dan kemudian menjamur di setiap sendiri ruang sendi kehidupan.
Jika melihat wawancara Tokoh Warteg, Asmawi, bahwa kemunculan Warteg itu bermula pada tahun 1960-an. Itu seiring-sejalan dengan tema pembangunan infrastruktur besar-besar di Ibu Kota, Jakarta.