Pada akhirnya Tan Malaka ke Filipina. Ia menemui Winanta dalam pelariannya yang sudah lebih dulu di sana; bersama Carmen di kediaman Ayahnya, Apollinario, seorang Rektor di Universitas Manila.
Dalam sebuah fragmen pada novel "Tan, Gerilya Bawah Tanah" di mana Tan Malaka beserta tiga lainnya sedang makan bersama di rumah Profesor Apollinario, menjelaskan bagaimana Indonesia dalam bayangannya, yang terlebih dulu telah Tan Malaka tuangkan dalam bukunya "Menuju Republik Indonesia" itu.
Sebelumnya Profesor Apollinario sudah membacanya, namun ia meminta penulisnya, Tan Malaka, untuk menceritakan langsung. Negara Indonesia di dalam kepalanya, kata Tan, adalah negara berbentuk republik yang pemerintahannya diselenggarakan secara efisien oleh satu organisasi tunggal. "Tidak ada parlemen dan legislatif, karena fungsi tersebut menyatu dalam organisasi tunggal itu sendiri," tegas Tan Malaka.
Gagasan itulah yang kemudian membuat Profesor Apollinario tergelitik. Sebab, katanya, mana mungkin pemerintah merangkap pembuat undang-undang.
Namun, dengan cepat Tan Malaka kembali menegaskan kalau pemisahan antara Eksekutif dan Parlemen hanya akan menyebabkan kesenjangan antara peraturan dan realitas. Kemudian Carmen bertanya, "bukankah mereka bisa turun ke lapangan untuk menarik aspirasi rakyat?"
Tan Malaka membenarkan. Tapi banyak catatan yang mengikuti pertanyaan sekaligus penyataan tersebut. Semisal, berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk turun ke masyarakat? Berapa lama waktu yang dibutuhkan untuk bersidang?
Intinya, menurut Tan Malaka, mereka (anggota Parlemen) terpisah dari rakyat; mereka menerawang dari jauh. Setelah itu, adakah jaminan bahwa peraturan yang mereka susun akan menjawab kebutuhan rakyat yang terus dan akan selalu berubah-ubah?
Untuk itulah kini Indonesia menerapkan Trias Polika yang digagas oleh Montesquieu supaya tidak ada kekuasaan yang absolut. Pemisahan kekuasaan, singkatnya. Namun, pada kenyataannya, yang terjadi adalah adu-kuat antar lembaga. Legislatif kepada Eksekutif. Atau sebaliknya.
Yang belakangan memanas dan hilang begitu saja adalah ketika Jokowi enggan menandatangani Undang-Undang tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (UU MD3). Sayangnya, ditandatangani atau tidak oleh Presiden, seperti yang diamanatkan Undang-Undang, tetap berlaku dengan sendirinya (terhitung 30 hari sejak Undang-Undang disahkan).
Itu artinya, mulai Kamis (15/3/2018) Undang-Undang MD3 berlaku. Setuju atau tidak, mesti dilaksanakan. Jika tidak, kata Ketua DPR, Bambang Soesatyo, bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Konsitusi. "Apapun nantinya keputusan MK, DPR siap melaksanakannya."
Bahkan sebelum UU MD3 disahkan, reaksi sudah mulai mencuat. Sebab, lewat UU ini, DPR menjadi lembaga antikritik dan bahkan bisa menyandera badan hukum dan masyarakat. Siapa yang geram? Rakyat, tentu saja.