Saya kembali mendengar dialog yang menganehkan di rumah sakit; setelah dulu saya dengar di kamar mayat. Dan dialog itu, saya dengar di ruang inap bayi.
Ini bulan ke sembilan. Selimut langit sedang enggan berganti hujan. Kemarau panjang dan malam seperti dirundung dingin yang kelewatan. Waktu itu saya sedang mengantar Arra berobat. Badannya panas namun ia terus menggigil di balik selimut, seperti terserang demam tinggi.Â
Sambil menunggu Arra masuk ruang dokter periksa, saya tinggal sebentar buat beli minum di kantin. Untuk sampai ke sana, saya mesti melewati ruang UGD dan Kemoterapi, juga ruang inap bayi. Tepat di depan ruang inap itu saya mendengar ada yang bercakap dari dalam. Saya berhenti. Saya mengalihkan kepala, mencari sumber suara, mengintip ada apa apa sebenarnya di sana.
"Kita hanya mengenal dua kematian: tragis dan puitis."
Sepenggal kalimat itu yang saya dengar dari dalam. Namun sial, sepertinya tidak ada siapa-siapa, selain puluhan bayi yang tertidur pulas.
"Lalu kamu ingin mati yang seperti apa?" suara yang berbeda dari yang semula terdengar. Suara perempuan.
Setibanya di rumah, ketika Arra baru menyelesaikan makanannya, bubur polos yang kita beli saat perjalanan pulang dari rumah sakit ke apartemen, saya ceritakan semua yang tadi saya temui di ruang inap bayi.
Sambil mengambil air putih dari dispenser dan duduk kembali ke ruang makan, ia menyimak satu persatu yang saya ceritakan. Obat yang sudah diresepkan dokter tadi juga sudah Arra minum. Ia kembali ke tempat tidur. Menyelimutkan tubuhnya-yang-aduh, membelakangi saya dan mengatakan, "reinkarnasi."
"Lamik dan Dhawi?"
Arra tidak menjawab. Ia tertidur. Lelap. Walau penasaran saya belum terjawab.
Malam datang. Tepat dari apartemen, suasana di luar sana, kota seperti terbelah oleh masing-masing lampu dari satu gedung ke gedung lain; dari satu jalan ke jalan lain; dari satu tikungan ke tikungan lain. Bintang dan bulan, tak lagi seperti dongeng yang kerap saya dengar sebelum tidur: melapisi malam, menemani sunyi yang kelam.